Roda gedebeg menggelinding di atas jalan berbatu. Suara ladam kuda menggema di kesunyian malam. Angin bertiup semakin kencang, ketika gedebeg melaju. Beruntung jalanan yang kami lewati datar dan lebar. Tidak sesempit jalan di hutan.
"Berhenti di depan saja," ujarku. Badra mengurangi laju gedebeg. Kulihat bagunan megah di atas puncak Penulisan sudah nampak. Aku turun setelah gedebeg itu berhenti terguncang.
"Kau yakin akan turun di sini?" tanya Badra, seraya berjalan memutari kuda.
"Iya, aku tidak mau suara tapal kuda mengusik para penjaga," jelasku.
"Baiklah. Hati-hati jaga kesehatanmu, jika terjadi sesuatu kau bisa pergi ke Desa Jong Les. Aku tinggal di sana," ujar Badra.
"Terima kasih," ucapku.
Aku berlari ke arah bangunan megah itu. Suara kuda bisa kudengar dari belakang. Aku menoleh, gedebeg itu sudah menghilang membawa Badra pergi. Para penjaga gerbang kembali kulewati, kuhentikan lariku saat mendekati para penjaga dan berjaga seperti biasa. Mereka menatapku dengan obor di tangan.
"Nona, Anda dari mana saja?" Seorang prajurit berbadan tinggi menghampiriku, tergesa.
"Aku pergi ke desa, aku baru kembali," sahutku. Mereka hanya menggeleng.Beruntunglah mereka mengizinkan aku masuk tanpa harus melapor pada senapati.
Aku berlari melewati taman istana. Kuatur napas sejenak untuk menormalkan detak jantung. Para pelayan dan penjaga hilir mudik menjalankan tugas mereka. Aku berjalan pelan menuju kamarku, berjalank seperti biasa, seakan tidak pernah keluar istana.
Kubuka pintu kamar yang beberapa hari sudah kutempati. Gelap. Tentu saja karena yang empunya baru kembali. Kuhidupkan damar sentir sebagai penerangan. Cahaya menerangi ruang gelap itu. Suara langkah kaki terdengar di ruang sunyi ini. Aku berbalik. Sosok pria datang mendekat dari sudut gelap.
"Siapa kau?" tanyaku.
"Apa berjalan-jalan seharian membuatmu lupa denganku?" Suara berat itu terdengar di kegelapan. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya.
"Pangeran, apa yang sedang Anda lakukan di kamar saya?"
Langsung saja kututup bibir rapat-rapat. Mungkin kurang sopan jika aku bertanya hal itu. Siapa yang berani membatasi keinginan calon raja? Kehendak raja adalah keinginan dewa, yang tak terbantahkan. Pangeran berjalan mendekat, aku bisa tahu dari suara langkah kakinya. Pria berbadan tinggi itu menatapku tajam dengan mata elangnya.
"Kau, dari mana?" tanya pangeran dengan memicingkan matanya.
"Saya hanya jalan-jalan sebentar di luar, Pangeran," ujarku dengan kedua tangan yang saling meremas, kebiasaanku saat berbohong.
"Dengan siapa?"
"Sendiri, " cicitku.
Pangeran mengusap wajahnya kasar, aku bisa membaca raut kecewa di wajah rupawan itu, meski hanya di terangi sinar sentir yang tak mampu menerangi setiap sudut ruangan.
Aku menunduk tidak pantas rasanya aku membela diri. Melawan calon penguasa sama saja dengan hukuman mati. Pangeran mendekat, langkahnya sangat pelan, sampai aku tidak menyadari lelaki itu berada tepat di depanku. Sangat dekat.
"Aku sudah mengingat semuanya," bisiknya di telingaku. "Mengingat semua kejadian semalam."
Aku menggit bibir bawahku. Tidak pantas lagi aku menunjukkan wajah di hadapan pangeran. Aku semakin menunduk layaknya padi yang menguning, tapi bedanya wajahku memanas, mungkin sudah merona merah. Pangeran memegang daguku membuat mata kami bertemu.
"Aku tidak perduli jika dirimu pengikut Budha. Aku tidak perduli jika dirimu bukan orang berkasta. Perasaanku tidak berubah sejak awal, Sang Wei," ucap pangeran. "Tetap untuk dirimu."
Kristal bening menganak sungai di wajahku. Aku tidak pernah bermimpi dicintai setulus ini. Aku berusaha menghindar dari pandangan pangeran. Kata-kataku terganjal di hulu hati, membuatnya sesak. Sangat sesak. Mungkinkah aku mendapatkan serangan jantung? Itu pemikiran konyol.