Hidden Moon

madiani_shawol
Chapter #1

Chapter 1

Api tungku melahap kayu bakar, pendaran cahayanya menerangi kegelapan. Aroma kayu yang dibakar tercium bercampur dengan udara basah setelah hujan beberapa saat lalu. Kata ayah, ibu berada di dapur, tapi tidak ada siapa pun di sini. Hanya ada tungku dengan dandang berisi air di atasnya.

“Sudah bangun kau rupanya?”

Aku menoleh. Ibu melewatiku yang masih berdiri diambang pintu. Ibu membawa nampan berisi caratan— tempat air yang terbuat dari tanah liat. Diletakkannya caratan itu di meja dekat tungku. Ibu tersenyum menatapku. Rambut panjangnya disanggul rapi, jika kuperhatikan tubuhnya tidaklah gemuk seperti ibu-ibu yang lain.

Wajah letihnya tidak pernah tampak sedikit pun. Baju berjarit rapi dengan kain halus yang dibeli ayah di pasar sangat cocok untuknya.

“Sampai kapan kamu berdiri di sana, Sang Wei?” ujar ibu membuyarkan pikiranku. Aku mengulas senyum tipis.

“Mai wopin melut jagung (Ke sini bantu mengupas jagung),” ujar ibu lembut. Aku pun menurut tanpa banyak bicara. Kudekati ibu yang sedang membuka karung penutup keranjang jagung dari sisa panen yang tidak dijual.

“Di mana Bi Dayu? Biasanya pagi-pagi sudah datang, Bu,” tanyaku seraya duduk di dekat tungku. Seketika tubuh kurusku menghangat, suhunya beda saat aku berada di luar. Ibu tidak menoleh. Tangannya dengan cekatan membersihkan rambut jagung.

“Bi Dayu sakit, jadi tidak bisa membantu,” sahut ibu.

Aku mengangguk, benar saja sejak dua hari yang lalu Bi Dayu jarang tampak. Rupanya wanita berbadan subur itu sedang sakit. Aku jadi teringat saat sakit dulu, Bi Dayu sering meledekku.

Katanya, "Badanmu kurus kayak melinjo di geprek, bagaimana tidak sakit terus, Sang Wei. Makan yang banyak! Biar seperti bibi, meski badan serupa batu bulitan (batu besar), tapi bibi tetap sehat. Penyakit saja pada kabur."

Penyakit apa yang berani menyerang wanita itu sekarang? Aku jadi penasaran ingin melihatnya.

“Apa aku boleh menjenguknya, Bu?” tanyaku antusias. Kuraih jagung yang ibu sodorkan kemudian mengupasnya.

“Tentu boleh, tapi jangan mengganggu waktu istirahatnya,” ujar ibu.

Betapa leganya hatiku ibu mengizinkan aku untuk pergi. Aku sangat senang jika berkunjung ke rumah Bi Dayu karena pohon jambu biji besar di halaman rumahnya. Saat kecil dulu, aku sering memanjat pohon itu.

Berulang kali aku jatuh, tapi tidak membuatku kapok untuk berhenti memanjat. Itulah sebabnya ibu selalu memarahiku karena pulang dengan sekujur tubuh berlulurkan tanah setiap hari.

Setelah selesai dengan jagung-jagung itu, aku bergegas ke rumah Bi Dayu. Tanah yang basah karena hujan membuat jalanan licin. Aku harus berhati-hati saat melewati tikungan, sesekali berpegangan pada batang pohon yang berjejer di sisi kanan dan kiri. Daun-daun kering pohon teep menutupi pijakan.

Obor di tanganku menyala menerangi setiap jalan yang kulewati. Panasnya sedikit menghangatkan tubuhku dari udara dingin.

“BI DAYU!,” teriakku setiba di rumahnya. Asap mengepul dari bilik dapur. Aku mendekat ke sumber asap. Kulihat Bi Dayu sedang meniup serobong, berusaha menghidupkan api di tungku. Bukan api yang menyala melainkan asap yang lebih pekat keluar mengepul.

“Bibi perlu bantuan?” tawarku yang masih berdiri di ambang pintu. Bi Dayu menoleh, leher kirinya bengkak. Ku padamkan api obor sebelum masuk ke dalam dapur.

“Untuk apa kau datang kemari, Sang Wei?” tanya Bi Dayu yang masih berusaha menghidupkan api. Bara api itu masih sedikit.

“Aku dengar Bibi sakit, jadi aku datang menjenguk.”

Aku mengambil alih serobong yang dipegang Bi Dayu. Sekali tiup api dengan cepat membakar danyuh. Bi Dayu meletakkan dandang yang berisi air di atas tungku. Diambilnya ubi dari keranjang besar di pojok dapur, kemudian dicucinya sebelum dimasukan ke dalam dandang.

“Bibi,——” Aku duduk diatas kursi kayu kecil dekat tungku, sesekali memperhatikan Bi Dayu memotong rebung, “ada apa dengan lehermu?”

“Hanya bengkak biasa, nanti juga sembuh. Kau belum mandi Sang Wei?” tanya Bi Dayu tanpa mengalihkan perhatian dari rebung. Aku hanya tersenyum. Tidak menjawab pun Bi Dayu sudah mengerti.

“Apa tidak sakit?” tanyaku penasaran.

“Jangan khawatir, Nak. Ini sakit biasa, paling hanya bengkak sebentar saja,” jawab Bi Dayu.

“Begitu, ya? Apa Bibi akan istirahat seharian?”

Bi Dayu tersenyum tipis.“Bagaimana bisa istirahat, ubi dan jagung harus segera dipanen kalau tidak mau dimakan hewan,” ujar Bi Dayu tanpa mengeluh sedikit pun.

Sesekali Bi Dayu meringis kesakitan dan memegangi lehernya yang bengkak. Aku tidak tega milihatnya.

“Aku pergi dulu, Bi.” ujarku sebelum beranjak dari duduk.

Lihat selengkapnya