Hidden Moon

madiani_shawol
Chapter #2

Chapter 2

Hari sudah gelap saat aku sampai di rumah Bi Dayu. Cahaya obor satu-satunya penerangan di rumah itu. Bi Dayu tinggal sendiri. Dia pasti senang jika aku menginap malam ini. Aku pergi ke dapur, di mana pendaran cahaya itu berasal.

Kulihat Bi Dayu sedang mengupas kulit ubi yang sudah matang. Wanita itu menoleh ke arahku kemudian tersenyum, raut kelegaan jelas tergambar dari wajahnya.

"Sang Wei, kau baru kembali, Nak?" tanyanya menghampiriku yang masih berada di ambang pintu.

"Bibi, aku pulang," ucapku riang, tidak ingin membuatnya khawatir dengan wajah lelahku.

"Kenapa sampai malam?" tanya Bi Dayu, mengelus rambut panjangku pelan. Kami duduk bersisian di kursi panjang. Banyak makanan yang terhidang di atas meja, liurku nyaris menetes melihat jagung rebus di atas daun pisang. Andai jagung itu dibakar, pasti lebih lezat.

"Tidak ada rebung, Bi?" tanyaku sambil menatap Bi Dayu yang melanjutkan mengupas ubi.

"Sudah habis, tadi ayahmu datang kemari jadi bibi berikan semua sayur rebungnya. Bibi kira kau akan pulang malam ini," ujar Bi Dayu.

Aku kecewa, tapi mau bagaimana lagi, jika pulang sekarang ibu pasti memarahiku. Lebih baik aku bermalam di sini.

"Ayah datang kemari, Bi?"

"Iya, dia mencarimu yang tidak pulang sejak pagi. Ayahmu sampai mencari ke dalam kandang ayam, mungkin dikiranya kamu sembunyi di sana lagi," sahut Bi Dayu dengan tertawanya yang menggelegar, mengguncangkan perut berlemaknya.

"Jangan diingat lagi, Bi. Itu masa lalu," ucapku jengkel dengan pipi yang memanas.

Dulu saat aku marah, aku sering bersembunyi di kandang ayam. Kulepaskan semua induk ayam dari kandangnya, setelahnya aku masuk mengerami telor-telor yang belum menetas. Dan membuat ayah panik mencariku dari pagi sampai sore. Aku malu jika mengingat kejadian itu.

"Bibi hanya bercanda, ayahmu kemari ingin meminjam keranjang buat panen." Apa yang kau bawa, Sang Wei?" Bi Dayu melirik keranjang kecilku.

"Ini obat untuk Bibi. Aku mencarinya di hutan. Tunggu sebentar!"

Kuhidupkan api tungku, segera kurebus segenggam daun piduh. Sembari menunggunya siap, aku menyantap jagung yang berada di depanku.

"Untuk apa daun itu?" Bi Dayu kembali bertanya.

"Itu obat yang harus bibi minum. Semoga saja bengkaknya cepat hilang. Bibi harus banyak beristirahat, ya," jelasku.

Bi Dayu tidak banyak bicara. Ia terlihat senang melihatku makan sebagian jagung rebusnya. Bi Dayu tidak akan marah jika aku menghabiskan makan malamnya.

"Setelah makan istirahatlah, biar bibi yang menunggu lolohnya matang," kata Bi Dayu.

Aku mengangguk. Mulutku penuh dengan jagung membuatku sulit untuk bicara. Jika ibu melihat cara makanku, mungkin aku sudah diceramahi panjang lebar sampai terbawa mimpi tujuh hari tujuh malam.

Seperti perintah Bi Dayu, setelah selesai makan, kurebahkan tubuhku di atas dipan di bilik timur. Baru saja mata ingin terpejam suara Bi Dayu membuatku kembali terjaga.

"Sang Wei," panggilnya dari luar.

"Ada apa, Bi?" Aku bergegas membuka pintu.

"Bibi hanya ingin meletakkan kapas-kapas ini, biar badanmu tidak sakit saat bangun besok." Bi Dayu membawa beberapa buntalan kain berisi kapas. Dipasangnya di atas dipan.

Di timur desa Sukawana adalah salah satu daerah yang menghasilkan kapas dengan kualitas terbaik. Mereka diberikan hak khusus memasok kapas ke desa-desa pesisir di kawasan Bali Utara, tidak jarang ketika mengirim hasil panen ayahku akan membawa buntalan kapas untuk kami gunakan sebagai alas tempat tidur.

Lihat selengkapnya