Hidden Moon

madiani_shawol
Chapter #3

Chapter 3

Walau tiga hari sudah berlalu sejak pertemuanku dengan pemuda asing itu tidak membuatku melupakannya dengan mudah. Sampai aku pusing mengingatnya. Apa seperti ini rasanya berhutang budi? Sangat menyiksa. Kurebahkan tubuhku di atas dipan. Kuraih buku yang berada di atas meja kecil. Meski tanganku ibugang buku, tapi pikiranku terus tertuju pada orang asing itu.

Hari ini para buruh panen di ladang. Semua orang sibuk mengecek dan memilah hasil panen yang akan dikirim ke luar daerah . Pagi tadi ayah sudah pergi ke ladang. Sedangkan Ibu sejak pagi sibuk dengan rutinitasnya di dapur.

Dan aku? Sejak datang dari pasar aku asik berpacaran dengan buku-buku ini. Kepalaku berdenyut saat pertama kali membacanya. Aku tidak mengerti sedikit pun tentang hanzi. Semenjak ayah menerjemahkan, sekarang aku terbisa dengan susunan garis itu. Suara ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Kurapikan buku yang berserakan.

"Ibu mencarimu kemana-mana, ternyata kau disini," ujar ibu setelah membuka pintu kamarku.

"Ada apa,Bu?" tanyaku.

"Bantu ibu memilah jagung-jagung itu. Karena besok sudah harus dikirim," titah ibu.

"Iya, Bu."

Aku bergegas keluar kamar. Para buruh berlalu lalang memikul hasil panen dari ladang. Rasa lelah jelas terlihat dari raut wajah mereka. Hasil panen tahun ini masih sama seperti tahun kemarin. Tetap melimpah. Aku segera menghampiri ibu yang duduk di bawah pohon jepun.

Tangannya dengan lincah memilah jagung yang akan dijual. Aku duduk di sebelah ibu. Bi Dayu juga ikut membantu kami. Bisa kulihat keadaan Bi Dayu sudah pulih. Bengkak di lehernya sudah tak terlihat lagi. Aku senang melihatnya sudah sembuh. Ayah dan para buruh kembali dari ladang, itu berarti panen pagi ini telah usai.

Seperti biasa para buruh akan mengaso sebelum melanjutkan panennya sore nanti. Bukan hanya orang dewasa saja yang menjadi buruh ayahku. Ada beberapa anak kecil yang ikut membantu. Mereka juga menerima upah sepantasnya. Sebagai ucapan terima kasih biasanya ayah akan membagikan satu bakul hasil ladang pada tiap buruh.

"Ada apa,Ayah?" sahutku saat ayah memanggil.

"Ayah punya hadiah untukmu."

"Apa itu?" ucapku penasaran. Ayah membuka benda yang terbungkus dari kertas.

"Ini kalung jade. Kemarin, ayah bertemu teman lama. Dia memberikan kalung ini untukmu. Pakailah!" suruh ayah.

Aku terima kalung yang ayah berikan. Warnanya hijau bentuknya bulat dengan lubang di tengah dan talinya berwarna merah. Mataku berbinar menatapnya. Ayah bilang orang Tiongkok mempercayai kalung jade berkhasiat memberikan kejayaan dan kesehatan. Ini hadiah teristimewa yang pernah aku dapatkan.

Aku menunduk menatap kalung jade yang kupegang. Kukenakan kalung itu dan kugenggam erat batu indah yang menggantung. Semoga kalung ini benar membawa keberuntungan.

Jagung sudah selesai dipilah ketika matahari sedikit condong ke barat. Ayah dan ibu sibuk mmemindahkan jagung ke dalam keranjang besar. Mereka terus bekerja dengan teliti dan cekatan, tidak menghiraukan keringat yang membanjiri wajahnya. Para buruh pun kembali ke ladang melanjutkan panen.

Aku membantu Bi Dayu menaikkan jagung ke dalam pedati. Kami menyewa beberapa pedati untuk mengantarkan hasil panen ke desa lain. Kami juga sering melakukan barter jika ada warga yang ingin menukarkan hasil ladangnya.

Cuaca siang ini begitu terik. Wajahku iburah karena sengatan matahari. Dalam angan air kelapa muda sedang membasahi kerongkonganku yang kering. Aku menelan liur saat membayangkannya. Dengan cepat aku selesaikan semua pekerjaanku. Aku pergi ke tepi hutan mencari buah kelapa. Tak lupa kubawa karung kecil sebagai wadah.

Aku cari pohon kelapa yang berbuah lebat. Kuperhatikan pohon kelapa yang menjulang di depanku. Aku mematung saat melihat tingginya pohon itu. Aku tidak putus asa, apa salahnya mencoba.

Kulemaskan jemari dan otot tanganku agar tidak kaku sebelum memanjat. Kuambil ancang-ancang untuk pijakan pertama. Kupegang erat batang pohon itu dan kupanjat perlahan. Aku menengadah melihat buah kelapa yang lebat di atas sana.

Kupanjat dengan susah payah pohon itu. Sampai suara tawa seseorang menghentikan gerakanku. Aku menoleh ke sumber suara. Badralah pemilik tawa tergelak itu. Dia duduk di atas batu besar yang jaraknya tidak jauh dari pohon yang kupanjat. Badra membekap mulutnya saat aku menatapnya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil cekikikan.

Lihat selengkapnya