Malam semakin larut, aku duduk di depan kamar ditemani sinar bulan. Miliaran bintang menghiasi langit gelap. Angin bertiup kencang, membelai rambut panjangku. Kudekap erat tubuhku untuk menghalau dinginnya malam.
Kulihat seseorang dengan damar sentirnya berjalan tergopoh-gopoh dari kegelapan. Tidak sembarang orang memiliki lampu sentir. Aku yakin dia seorang pesuruh di pemerintahan desa.
"SANG WEI," pekikinya ketika melihatku. Aku mengenalnya. Pria itu seorang samgat desa, untuk apa dia bertamu malam-malam? Suara kerasnya membuat ayah dan ibu keluar dari bilik.
"Ada apa, Pak Gede? Sepertinya ada hal darurat," tanya ibu.
"Tolong warga di balai pengobatan. Mereka terkena demam dan muncul bintik merah ditubuhnya," sahutnya panik. Aku tatap ayah dan ibu agar memberi izin untuk pergi. Setelah mendapat persetujuan mereka aku segera masuk ke kamar.
Kuambil keranjang rotan berukuran sedang. Kumasukkan beberapa loloh dan rempah kedalamnya. Semoga obat yang kubawa bisa menyembuhkan warga. Balai pengobatan cukup jauh dari rumahku. Kami berlari kecil agar segera sampai.
Keadaan di balai pengobatan sangat gaduh. Orang-orang berlari kesana-kemari, membopong sanak saudara mereka yang sakit. Beberapa orang tidur dilantai sambil menuggu giliran diperiksa. Anak kecil dipangku oleh ibu mereka. Dua orang tabib yang menangani tampak kewalahan.
Kuhampiri tabib itu, mereka menghela napas lega saat mendapat bantuan. Aku hanya tersenyum kecil sebagai sapaan. Kuberikan racikan loloh yang kubawa. Aku tahu tidak akan cukup untuk semua orang, besok pagi mungki bisa kucarikan obat lain di hutan.
Kami larut dalam kesibukan sampai suara tangis seorang ibu pecah. Wanita itu harus merelakan kepergian anak gadisnya. Kukepalkan kedua tanganku. Perasaan sedih tidak boleh mengganggu konsentrasiku. Aku berusaha untuk fokus. Aku yakin malam pilu ini akan segera berakhir.
Matahari mulai naik di ufuk timur. Aku terjaga sepanjang malam. Kulebarkan mataku meski terasa berat. Kutuangkan segelas air untuk gadis kecil di depanku. Gadis itu kembali tertidur setelah menegak habis air yang kuberikan.
Kemarin malam gadis ini tidak henti menangis karena suhu tubuhnya meningkat. Tapi pagi ini panas tubuhnya sudah mulai menurun. Semoga saja dia cepat sembuh. Warga terus berdatangan.
Lima orang gadis remaja datang mendekatiku. Mereka menawarkan bantuan kepada kami, dengan senang hati kami menerima bantuan mereka.
Matahari bersinar terik, kuputuskan untuk pulang. Kucari buku pengobatan yang pernah ayah berikan saat tiba di rumah. Kubaca tiap halaman dengan teliti. Tidak ada satu buku pun yang menjelaskan tentang penyakit aneh itu.
Aku mulai putus asa, bayangan akan kematian anak gadis tadi malam membuatku cemas. Aku tidak ingin hal serupa terjadi dengan warga lainnya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu jenis penyakitnya. Bagaimana bisa aku memberikan obat yang tepat? Obat dari tabib saja masih kurang. Beberapa warga belum mendapat penanganan dan obat yan memadai.
Kupijitt kepalaku, rasa pening datang menyerang. Siapa yang bisa membantuku sekarang? Badra? Ahh... iya Badra. Hanya orang itu yang bisa kuandalkan. Mungkin saja dia pernah mengobati penyakit serupa. Tidak ada salahnya aku bertanya pada Badra. Aku beranjak dari duduk dan berlari menuju hutan, hanya di sana aku bisa bertemu dengannya.
Aku berhenti tepat di batu besar yang pernah dia duduki. Aku agak cemas, apa bisa bertemu dengannya kali ini?
"BADRAAAA..." teriakku
Tidak ada jawaban. Hanya suara burung yang terdengar di kesunyian. Jangkrik pun tidak bersuara. Tidak ada yang menyahuti teriakanku. Aku menghela napas.
Bodohnya aku tidak pernah menanyakan rumahnya.Meski Badra orang yang menyebalkan, tetapi dia sering membantuku. Sekarang aku benar-benar membutuhkan bantuan lelaki itu. Bagaimana aku bisa menemukannya?
"Badra kau dimana? Aku membutuhkan bantuanmu," lirihku. Aku menengadah menghalau air mata yang siap tumpah. Ehhh... tunggu...apa aku tidak salah lihat? Di atas sana ... ada....
"Yak! turun ke bawah. Cepat!" perintahku.
"Sepertinya aku mendengar suara kerinduan."
Badra berpura-pura tidak melihatku. Dia justru asik bersandar di pohon sembari mengorek hidungnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari Badra pun mengendusnya. 'Dasar jorok' rutukku saat melihat Badra mengupil.
"Aku tidak mau turun!" tandasnya saat aku memintanya kembali turun. Aku berbalik memunggunginya. Aku jadi kesal dengan sifat keras kepala Badra.
Tidak tahukah dia jika aku sedang kesusahan. Suara benda terjatuh terdengar tepat di belakangku diikuti erangan yang cukup nyaring. Aku tahu dia akan turun jika aku mulai merajuk.
"Aku sudah turun, kenapa tidak bicara?" ujarnya dengan merintih. Aku berbalik. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat wajah kesakitannya. Namun Aku berusaha menahannya. Kupukul badanyan membabi buta, dia hanya mengerang sesekali menghalau pukulanku. Badra berhasil menangkap kedua tanganku. Kami terdiam mengatur napas yang kembang kempis.
" Jadi kau ingin aku turun hanya untuk memukulku?" ujar Badra.
"Siapa suruh kau membuatku kesal," kataku tidak kalah sengit. Badra melepas tanganku—dia berkacak pinggang. Badra menatapku intens. Aku merasa risih ditatapnya.
"Kau harus minta maaf padaku, pertama teriakanmu membuat binatang burunanku kabur. Kedua kau telah memukulku tanpa sebab, dan ketiga acara mengupilku terganggu," kata Badra. Aku memandangnya dengan rasa bersalah. Aku hanya menunduk.