Malam telah larut saat aku sampai di istana. Disinlah aku sekarang, di sebuah kamar yang menjadi tempatku melepas penat. Lampu sentir masih setia menerangi sudut gelap ruangan.
Mataku terpejam saat kurebahkan diri di atas dipan. Perjalanan yang cukup jauh dan menguras tenaga. Kupejamkan mataku untuk menyambut kembang tidur.
***
Matahari memancarkan sinarnya saat aku selesai mematut diri di depan cermin. Wajahku terlihat lebih segar setelah tidur nyenyak semalam. Lingkaran hitam di mataku sudah menghilang.
Rambut panjang sepinggang kujalin rapi. Kuperbaiki lagi penampilanku agar sempurna. Suara deritan pintu mengalihkan perhatianku. Seorang gadis berusia 12 tahun menyembulkan kepala dari balik pintu. Dia tersenyum melihatku, ditutupnya pintu kayu itu dengan pelan, kemudian mendekat.
"Asih... ketuk pintu dulu sebelum masuk!" kataku.
Gadis yang bernama Sumariasih itu hanya tersenyum , ia berjalan ke arah ranjang. Tubuh kecil itu terlentang di atas dipan.
"Mbok sering melamun sih. Aku sudah ketuk pintu―” Asih terdiam sejenak. “―kemarin" lirihnya.
Aku menggeleng. Mungkin gadis berambut pendek itu menyangka aku tidak mendengar kata terakhirnya. Asih satu-satunya temanku di istana.
Gadis bermata bulat itu adalah anak dari seorang pelayan dapur. Dia anak yang periang membuatku terhibur dengan tingkah polosnya.
"Apa mbok sudah selesai?" Asih duduk di atas ranjangku dengan kaki bersila. Aku menoleh. Kuanggukkan kepala, dan menghampirinya.
"Apa aku sudah cantik? Bagaimana penampilanku?" tanyaku pada Asih. Kuputar badanku berkali-kali di hadapannya.
"Mbok selalu cantik, tapi sekarang lebih cantik dengan pipi merona merah," balasnya menunjuk pipiku.
Kutangkup kedua pipiku dengan tangan. Pipi merona merah? Kulihat di cermin besar yang berada di sisi kiriku ternyata... dia berbohong. Lihatlah dia terbahak di atas dipan, bertambah satu lagi fakta yang kuketahui tentang Asih. Ternyata dia suka berkelakar. Kami baru berkenalan kemarin malam, tapi dalam waktu singkat kami sudah akrab. Tingkah lakunya lucu dan terkadang menyebalkan untuk anak seusianya. Satu kebiasaan buruk Asih yang baru aku ketahui yaitu suka—
BRUUUUUTTT
―kentut sembarangan.
"Ahh lega rasanya," ujarnya usai melepaskan gas beracun.
Kututup hidung kecilku, udara di sekitarku tercemar. Aku hanya mengernyit saat dia menatapku.
"Maaf ya,Mbok. Aku kelepasan, gasnya susah ditahan." Cengirnya dengan wajah tanpa dosa.
"Tidak apa, berarti kamu sehat," ujarku seraya mengibaskan tangan menghalau bau terkutuk itu.
"Kalau tidak aku keluarkan, perutku akan sakit," ucapnya dengan tangan mengusap perut. Aku mengangguk. Kubelai rambut pendek sebahunya sebelum kami beranjak menuju ruang pangeran.
"Tidak apa, tapi kau juga harus minta izin. Belum tentu orang di dekatmu bisa mengerti," nasihatku.
Burung-burung berkicau riang, terbang berhamburan ke udara ketika kami melintasi halaman istana.
"Tenang saja. Mbok adalah orang pertama yang mencium bau kentutku. Aku tidak pernah kentut sembarangan, selain bersama, mbok," terangnya dengan senyum polos.
Aku hanya melonggo mendengar kejujurannya. Jadi aku orang pertama yang 'dikentuti?' Dosa apa aku pagi-pagi menghirup bau busuk itu. Ternyata menjadi yang pertama tidak selamanya menyenangkan.
"Jangan makan makanan yang mengandung gas, biar Asih tidak sering kentut," nasihatku lagi. Asih mengangguk dengan semangat. Senyum polos terukir di wajahnya yang manis.
"Kemarin Asih hanya makan daging kodok dengan sayur kol," ujarnya dengan mata berbinar.
Aku hanya mengangguk mendengar pernyataannya, meski ada rasa jijik saat membayangkan daging kodok. Tidak ada yang memulai pembicaraan lagi, sesekali kudengar bibir mungilnya bersenandung. Meskipun suara Asih sumbang aku tetap menikmatinya. Anggap saja mendengar suara bebek dan ayam yang bertengkar di pasar.