Aku berlari tergesa di tengah malam menuju kamar pangeran ketika pelayan memberitahukan jika pangeran kesakitan. Tadi pangeran dalam keadaan baik-baik saja saat kutinggal. Apa mugkin pencernaanya terganggu? Aku harus memastikannya segera.
Kubuka pintu besar di depanku dengan kasar. Wajahku panik saat melihat pangeran meringkuk di atas ranjang.
"Pangeran, apa Anda baik-baik saja?" tanyaku khawatir. Pangeran meringis ibugang perutnya. Aku berusaha iburiksa perutnya tapi pangeran mengentikan gerakanku.
"Duduklah dulu," ujarnya menahan sakit. Aku menuruti perkatanya. Aku duduk di tepi ranjang. Pangeran meletakan kepalanya di pahaku, matanya perlahan terpejam. Ringisan kesakitan yang sempat kudengar tadi tiba-tiba menghilang.
"Pangeran, apa perutnya masih sakit?" tanyaku.
"Sudah mendingan. Obatnya sudah ada." Aku hanya mengernyitkan dahi, aku rasa belum sempat memberikan obat. Bagaimana pangeran bisa sembuh?
"Obat?" tanyaku. "Obat apa pangeran?"
"Kau. Kaulah obatnya." Wajahku merona. Apa pangeran sedang merayu. Desiran hangat menyelimuti perasaanku. Degup jantung bekerja tidak seperti biasaya. 'Sang Wei kau harus sadar siapa dirimu' batinku.
Perlahan mata pangeran terpejam. Kupandangi wajahnya dengan teliti, tidurnya begitu pulas. Dengkuran halus mulai keluar dari bibirnya. Aku berlari jauh kemari hanya untuk melihatnya tertidur pulas? Aku perlahan meletakkan kepala pangeran di atas bantal. Dia tidak bangun sama sekali, tidurnya begitu pulas.
Kuselimuti badannya. Aku keluar dari kamar pangeran. Ketika aku ingin pergi ,sebuah suara menghentikannku. Aku berbalik dan menunduk hormat saat melihat Mpu Siwagandhu menghampiriku.
"Selamat malam, Tuan," sapaku ramah.
"Malam-malam seperti ini, apa yang dilakukan seorang gadis di kamar seorang pria?" ujarnya saklek.
"Maaf Tuanku, pangeran tadi sakit perut jadi hamba iburiksa keadaannya," jelasku.
"Apa itu hanya alasan?" tanya Mpu Siwagandhu dengan tatapan tajam.
"Itu adalah kebenaran, Tuan."
Mpu Siwagandhu mengangguk.
"Aku akan terus mengawasimu sampai tabib kepala kembali. Ingat itu," ujarnya. "Kau harus mengingat satu hal Sang Wei. Pangeran akan menjadi raja dan menikah dengan putri bangsawan. Jangan coba kau mencari perhatiannya."
"Maaf Tuan, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya menjalankan tugas," jawabku. "Saya tidak mungkin membiarkan pangeran kesakitan di tengah malam," jelasku.
" Baiklah kali ini aku mempercayainya." Mpu Siwagandhu berlalu begitu saja.
Aku kembali ke kamarku. Kunyalakan sentir untuk menerangi rung gelap itu. Mengapa tidur saja susah? Aku berguling ke sana kemari menyamankan posisi tidur, namun tetap saja mata ini terus terjaga.
Aku terduduk di atas ranjang, kudekap erat kedua kakiku, kenapa hatiku merasa ragu? Disaat keinginanku ada di depan mata, apa hatiku terlalu lemah? Lama aku termenung sampai kantuk menyerang.
***
Tubuhku terasa lemas, mataku enggan untuk terbuka. Biarlah aku bermalasan sebentar saja, pangeran pasti bisa memakluminya. Kurasakan tubuhku terguncang pelan tapi tidak kuhiraukan, mata ini seperti lem yang merekat kuat.
Guncangan pada tubuhku tidak berhenti, aku yakin ini ulah Asih. Dia tidak pernah mengetuk pintu. Kurapatkan kembali selimut yang merosot, hawa dingin tiba-tiba membelaiku.
Guncangan itu tidak berhenti, aku mulai terusik. Asih ternyata sangat menyebalkan.
"Asih, mbok masih mengantuk. Sebentar lagi,ya," ujarku dengan mata setengah terbuka.
Aku kembali tertidur, tapi guncangan itu tidak berhenti, dengan terpaksa aku membuka mataku, kubalikkan badanku ke arah Asih.
"Asih...." Mataku terbelalak saat melihat orang di depanku. Bukan gadis kecil berambut sebahu yang kulihat tapi.... Pangeran?
Aku segera duduk dan membelakangi pangeran. Kuusap sudut-sudut bibirku, berharap aliran sungai kecil yang mengering tidak tampak lagi. Kubersihkan sudut mataku. Ini sangat memalukan, penampilan acak-acakanku di lihat oleh pangeran? Aku sangat malu.