Hari ini terasa begitu hangat, sinar matahari masih terasa lembut. Kubuka halaman selanjutnya dari buku yang kubaca. Pangeran sudah pergi berburu beberapa saat lalu.Sedangkan aku hanya berdiam diri di perpustakaan istana.
Aku membaca buku untuk mengusir kejenuhan, tapi seharian berada di perpustakaan lama-lama membuat aku bosan. Kutopang dagu dengan sebelah tangan, aku tidak tertarik lagi dengan bacaanku. Aku rindu mendengar pangeran bercerita seperti kemarin siang.
Hari ini pangeran pergi pagi-pagi sekali. Aku merasa kesepian Asih,si iblis kecil itu tidak terlihat dari kemarin. Kemana perginya bocah itu? Apa dia banyak pekerjaan? Semua pelayan seperti sedang mempersiapkan upacara besar. Aku ingin bertanya pada Bi Koncreng, tapi urung kulakukan saat melihatnya sibuk.
Suara deritan pintu menyita perhatianku, sosok bertubuh mungil perlahan muncul dari balik pintu. Aku terdiam memperhatikan orang itu. Siapa lagi kalau bukan Asih. Tapi tunggu... apa yang dia bawa?
Kupandangi Asih yang berjalan mengendap-endap. Kain hitam yang ia bawa terlihat penuh dengan sesuatu yang... entahlah aku sendiri penasaran dengan isinya. Aku berdeham. Seketika tubuhnya menegang. Aku berjalan ke arah Asih dan berdiri tepat di belakangnya. Asih berbalik, wajahnya pucat pasi.
"Ahh... Mbok bikin kaget saja," ujar Asih dengan kaki yang terhentak. Aku bisa melihat wajah kesalnya. Pipi tembam itu mengembung.
"Asih sedang apa?" tanyaku penasaran.
"Aku? Sedang main petak umpet sama Bi Gusti," sahutnya. Bi Gusti? Kepala dapur yang galak dan saklek itu? Tidak mungkin Bi Gusti mau bermain dengan Asih si pembuat onar.
"Bi Gusti mau bermain dengan Asih?" tanyaku.
"Betul... aku sedang bermain, Bi Gusti mungkin sedang mencariku sekarang. Mbok bantu aku ya, jangan beritahu Bi Gusti jika aku ada di sini," ujarnya dengan wajah ibulas.
Aku mengangguk menyanggupi permintaannya. Senyum merekah muncul dari bibir cerewet Asih.
"Itu apa yang Asih bawa?" Tunjukku pada buntalan kain hitam di tangannya. Aku semakin penasaran dengan isi buntalan itu. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan 'main petak umpet' yang Asih ceritakan?
"Ini?" Asih mengangkat buntalan yang ia bawa. Aku bergumam sebagai jawaban.
"Ini adalah makanan, pagi tadi aku ambil dari dapur. Tapi Bi Gusti datang lebih awal, jadi kuajak saja bermain petak umpet," terangnya dengan polos.
Aku mengerti sekarang, main petak umpet yang Asih maksud adalah dikejar Bi Gusti, karena mengambil makanan tanpa izin. Dasar bocah, selalu bisa mengelabui orang tua.
"Asih tidak bilang mau minta makan?" tanyaku. Asih berjalan ke arah meja yang sempat kududuki beberapa saat lalu. Di letakkannya buntalan kain itu di atas meja. Terpampanglah berbagai macam buah dan kue ketika kain itu dibuka.
"Aku sudah pernah minta izin, tapi malah dibentak dan diusir dari dapur. Perutku terkadang sakit jika terlambat makan. Aku tidak mau melihat ibu sedih karena Aku sakit. Jadi Aku ambil saja buah yang ada di dapur dan menyimpannya di sini," ujar Asih.
Aku mendekati Asih. Entah kenapa hatiku bisa merasakan kesedihannya. Meski dia anak yang bandel, tapi Asih memiliki hati yang baik dan tulus.
"Jika aku menyimpan makanan di sini. Aku bisa makan kapanpun ketika perut lapar. Kebetulan kemarin makanan yang Aku simpan sudah habis, jadi aku ambil lagi di dapur," lanjutnya.
Kepalanya menunduk, kuusap pelan rambut halusnya.
"Apa Asih sakit perut setiap kali terlamabat makan?" Asih mengangguk membenarkan perkataanku.
"Itu berarti lambung Asih mengalami masalah," ujarku. Asih mengangkat kepalanya, mata bulat itu terbuka lebar.
"Apa penyakit aku parah, Mbok?" tanya Asih.
"Tidak, tapi jika Asih tidak obati nanti bisa bertambah parah," jawabku. Asih mentapku dengan raut sedihnya.
"Aku tidak mau sakit, ibu akan sedih melihatnya," ujar Asih.
"Kalau Asih tidak mau sakit, Asih harus minum obat yang mbok buat, ya."
"Tidak mau!!" Asih melipat kedua tanganya di depan dada. Dia memalingkan muka, tidak mau menatapku.
"Kenapa?" tanyaku.