"Yaah... nyamuknya terbang," ujar pangeran. Aku meraba keningku yang terasa gatal. Bisa kurasakan bentol kecil mulai muncul.
"Apa perlu kuambilkan minyak?" tanya pangeran.
"Tidak perlu Pangeran, nanti saja hilang," ujarku.
"Tapi kau baik-baik saja, 'kan? Kenapa wajahmu juga iburah?" Mata tajam itu memandangiku.
"Ohh... itu... ah iya udaranya sedikit panas di sini, saya merasa kegerahan." Pangeran mengangguk, ia kembali ke tempat semula.
"Kau mau ke suatu tempat besok?" tanya pangeran.
"Ke mana Pangeran?" sahutku.
"Rahasia." Pangeran mengedipkan matanya. "Besok pagi kau akan tahu, tunggu saja aku di pintu belakang istana," titah pangeran. Aku mengangguk mengerti. Sudah lama aku tidak pergi ke luar istana.
Aku sangat merindukan lingkungan luar, bertemu dengan banyak orang. Saling bertegur sapa, pergi ke ladang dan bertemu Badra. Bagaimana kabar pria itu sekarang?
****
Pagi ini, matahari belum terbit. Ayam sudah berkokok sejak beberapa saat lalu. Tetesan embun pagi masih terasa,menghantarkan hawa dingin. Kudekap erat tubuhku, kuusap lengan telanjangku untuk mengusir dinginnya udara.
Api di dalam sentir itu bergoyang saat dihembuskan angin. Aku duduk di sebuah batu besar, menunggu kedatangan pangeran.
Aku menunggu kedatangam pangeran. Kami sudah berjanji akan pergi keliling desa. Kugenggam erat keranjang kecilku, mungkin nanti aku bisa membeli beberapa barang di pasar.
"Sudah lama menunggu?" Aku berdiri dan tersenyum melihat pemilik suara bariton itu. Pangeran memberikan sebuah topi yang terbuat dari anyaman bambu. Topi bulat dengan atasan mengkerucut itu sering kulihat dipakai oleh para buruh saat panen di ladang.
"Pakailah, damuh masih menetes, jangan sampai kau sakit," kata pangeran. Kami berjalan bersisian. Lampu sentir yang kubawa menerangi setiap langkah kami.
"Aku sangat merindukan suasana pasar," ujar pangeran ibucah keheningan. Aku tidak langsung menanggapi, aku ingin mendengar kalimat selanjutnya.
"Aku bukan orang yang suka dengan kemewahan. Aku ingin memiliki banyak teman dalam kesederhanaan."
"Jadi itu alasan pangeran pergi diam-diam?" tanyaku.
"Mungkin itu salah satu alasanku. Tujuanku yang utama adalah melihat kehidupan rakyat. Aku ingin merasakan apa yang mereka rasa. Aku tidak ingin menelantarkan rakyat demi kesenanganku semata."
"Anda akan akan menjadi raja yang Agung. Yang akan dicintai oleh rakyat," ujarku. Pangeran memandangku.
"Untuk itu aku harus memiliki pendamping yang memiliki tujuan yang sama, yang selalu menerangiku dalam segala keadaan," ujarnya lirih.
Aku tahu cepat atau lambat kebersamaan ini akan berakhir. Pangeran akan bersanding dengan orang yang sepadan, orang yang memiliki pengaruh dan tentu mencintainya. Aku selalu menyangkal jika perasaan ini hanya rasa kagum, yang bisa hilang kapan saja. Tapi hari ini perasaan itu muncul begitu nyata.
Aku tidak bisa menyangkalnya lagi, jika aku menaruh hati. Bukan karena pangeran adalah pangeran tapi karena pangeran adalah Jayapangus.
Aku rela jika bertepuk sebelah tangan. Karena aku menyadari bahwa cinta yang tidak tercapai masih disebut dengan cinta.
Para wanita berjalan kesana-kemari menjunjung barang dagangnya. Suara para pedagang begitu riuh meramaikan suasana pagi. Beberapa waktu lalu kami telah sampai di rgas pasar Wijayakranta. Pasar yang menjual hasil ladang, begitu pula dengan hewan ternak.
Pangeran menggenggam tanganku dan menariknya lembut ke arah seorang pedagang.
"Maaf, apa yang Anda jual?" tanya pangeran pada penjual itu.
"Saya hanya menjual jagung rebus, hanya jagung yang saya punya di ladang," ujar wanita tua itu.
"Boleh saya membeli sepuluh?" Wanita itu mengagguk semangat, pangeran mengambil alih keranjang kecilku. Dialasinya dengan daun pisang sebelum jagung-jagung dimasukkan.
"Pangeran untuk apa membeli jagung sebanyak itu?" tanyaku dengan nyaring. Keadaan yang hingar bingar membuat kami harus bicara lantang. Pangeran tersenyum mendengar pertanyaanku.
"Nanti saja kau tahu, Sang Wei," sahut pangeran.