"Sebenarnya saya...."
"Sang Wei aku juga ingin mengatakan sesuatu," ujar pangeran memotong perkataanku.
"Bolehkah saya terlebih dahulu mengutarakannya? Saya tidak bisa menahannya lagi," ujarku.
"Aku yang akan mengatakannya terlebih dahulu," sahut pangeran tidak mau kalah.
"Pangeran, sepertinya beban saya lebih berat. Saya tidak kuat lagi." Keringat dingin tiba-tiba mengucur dari dahiku. Ini sungguh menyiksa.
"Baiklah, katakan apa itu?"
"Sebenarnya, tangan kiri saya sakit terjepit sedari tadi," ringisku.
Pangeran segera menggeser duduknya, aku segera menarik tanganku. Kukibaskan tanganku menghilangkan rasa sakitnya.
"Maaf, aku tidak sengaja," ujar pangeran. Ditariknya tanganku. Diusapnya pelan.
"Tidak apa, lagi pula sakitnya sudah hilang," ujarku seraya menarik tangan. "Apa yang ingin pangeran katakan tadi?"
"Ohh... itu aku hanya ingin memberikan ini padamu." Pangeran mengeluarkan sebuah gelang hitam polos.
"Ini hadiah lomba tadi. Aku harap kau suka."
Aku menerima gelang itu sangat cantik.
"Saya menyukainya, ini sangat indah," ujarku. Aku tidak bisa menutupi rasa senangku.
"Syukurlah jika kau suka." Tidak ada yang berbicara, suasana seketika menjadi hening. Hujan semakin deras, hawa semakin dingin membuat aku mengantuk.
"Sang Wei," ujar pangeran lembut.
Aku menoleh, menatap pangeran penuh tanya.
"Maukah kau bersamaku selamanya? Aku sudah tertarik saat melihatmu pertama kali. Orang yang selalu ibunuhi pikiranku setiap saat. Sang Wei, jadilah wanitaku," ucap pangeran.
Aku merasa sangat bahagia mendengarnya, cintaku terbalaskan.
"Maafkan saya pangeran, kita masih terlalu muda untuk hal itu. Aku tidak bisa menjawabnya," balasku.
Aku menunduk, hati dan pikiranku seperti bertolak belakang. Aku ingin bersamanya tapi aku tahu itu mustahil, masih banyak hal yang harus aku kejar demi mimpiku. Aku tidak ingin perasaan ikut campur di dalamnya.
"Hahahaha iya jangan terlalu serius. Aku tahu kita masih muda, banyak hal yang harus dipikirkan dengan matang. Kau akan menjadi gadis teristimewa dalam hidupku," ujar pangeran.
Aku lega mendengarnya. Aku pikir sekarang bukan saat yang tepat mengutarakan isi hatiku. Aku akan menunggu waktu yang pas.
Hujan sudah reda, kami memutuskan kembali ke istana dan batal menginap. Beruntung tidak ada yang melihat kami saat menyusup dari pintu belakang istana.
"Apa yang kalian lakukan malam-malam di sini?" Aku memberi isyarat agar Asih diam. Asih mendekati kami, gadis kecil itu terheran-heran.
"Asih jangan bicara keras-keras, nanti ada yang mendengar," ujarku.
Pangeran berjongkok di depan Asih.
"Kamu mau membantu kami memasuk ke dalam istana tanpa diketahui pengawal?" Asih mengangguk menyanggupi permintaan pangeran.
"Tenang saja aku akan membantu Pangeran," kata Asih dengan nyaring.
"Siapa di sana?"
Kami bersembunyi di balik tumbuhan liar yang tumbuh tinggi saat seorang penjaga berjalan mendekat. Lampu sentir yang kubawa segera kumatikan. Keadaan benar-benar gelap, penjaga itu semakin mendekat ke arah kami.
"Meeeoonngg," ujar Asih meniru suara kucing. Asih berusaha mengelabui penjaga, tapi orang itu terus berjalan mendekat ke tempat kami bersembunyi.
Aku rasa meniru suara hewan bukan ide yang baik, cepat atau lambat penjaga itu akan tahu persembunyian kami.
"Meeoongg, aku kucing, meeoong," ujar Asih polos.
Aku dan pangeran saling pandang, mungkin sekarang waktunya kami akan tertangkap. Harusnya aku sudah menduga Asih tidak akan membantu banyak.
"Ohh kucing? Aku kira apa," ujar penjaga itu kemudian pergi melanjutkan berkeliling menjaga keamanan.
Aku melongo sekaligus lega, saat penjaga itu pergi.
"Sepertinya aku perlu memberikan pelatihan tentang suara hewan," celetuk pangeran.
Kami mengendap-endap ke dalam istana. Para penjaga berkeliaran kesana kemari, penjagaan hari ini lebih ketat dari kemarin. Apa ada hubungannya dengan diadakan pesta?
Kami berpisah menuju kamar masing-masing. Aku dan Asih jalan bersama karena kamar kami searah. Aku membuka pintu kamarku, Asih masih mengikutiku di belakang.
"Terima kasih, Asih," ujarku. Asih tidak menjawab, tangannya menengadah seperti minta upah.
"Aku tidak punya uang, Asih," ujarku.
"Aku minta itu." Asih menunjuk gelang yang pangeran berikan padaku.
"Ini gelang berharga, jangan yang ini." Asih menggeleng.
"Aku meminjamnya sebentar saja, besok aku kembalikan," ujarnya.