Suasana begitu ramai sejak subuh, para pelayan hilir mudik mempersiapkan perlengkapan upakara (sesajen). Wajar saja jika para pelayan lebih sibuk dari biasanya, mengingat hari ini adalah peringatan kelahiran pangeran.
Para tabib kerajaan berkumpul di halaman istana, semua mendengar arahan dengan baik. Meski aku belum sepenuhnya diterima sebagai seorang tabib, tapi aku diberi kesempatan untuk bergabung.
Pakaian yang kukenakan juga berbeda dari yang lainnya. Warna hitam. Kulirik samping kanan dan kiriku, para tabib itu mendengarkan dengan khusyuk. Apa mereka tidak bosan mendengar ceramah yang diulang-ulang terus?
Aku menghitung berapa kali tetua tabib mengatakan hal yang menurutku intinya sama . Sejak ayam mulai berkokok hingga matahari terbit ceramahnya tak henti-henti juga.Aku mulai menguap, kumainkan jemari kakiku untuk menjaga kesadaran.
1... 2... 3...
Tabib yang lain juga ikut mengantuk, mereka menguap berkali-kali. Ternyata benar kata orang , menguap bisa menular. Dan pagi ini aku sudah menularkan kantuk.
"Kesehatan itu sangat penting, jadi kita harus memberikan pelayanan yang terbaik," ujar salah seorang tetua tabib. Bisa kuhitung empat kali sudah dia mengatakan hal yang sama.
Ketua tabib melangkah ke depan. Rasa kantukku menguap begitu saja. Semua tabib berdiri tegak,tidak ada yang bersuara sedikit pun. Kami seperti prajurit yang siap bertemur di medan perang.
"Periksa semua kesehatan prajurit, jangan sampai kita lengah!" ujar tabib kepala. "Pastikan semuanya dalam keadaan sehat, begitu pula pelayan dapur!"
Kami semua mengangguk mengerti. Kami pergi menuju aula istana. Aula penuh sesak oleh para prajurit dan pelayan yang telah menunggu sedari tadi. Para pengawal berjejer rapi menunggu giliran diperiksa.
"Sang Wei tolong ambilkan air," ujar seorang tabib. Aku segera ke dapur mengambilnya dan menyerahkan air itu pada sang tabib.
"Sang Wei, persediaan loloh di sini habis tolong ambilkan lagi." Seorang tabib berteriak menyuruhku. Aku tidak akan bertanya lagi, kuambil beberapa botol loloh dari ruang tabib dan memberikannya dengan cepat.
"Sang Wei, kemarilah." Aku berlari kecil ke arah seorang pelayan. Wajahnya berseri, rambutnya digelung ke atas.
"Ada apa, Bi?"
"Tolong antarkan pakaian ini untuk pangeran," ujarnya menyerahkan pakaian pangeran padaku.
Aku menerima nampan berisi pakaian pangeran dengan senang hati. Ini kesempatanku bertemu dengan pangeran dan meminta maaf tentang kejadian kemarin malam.
"Bagaimana dengan pekerjaanku di sini, Bi?"
"Aku sudah minta izin pada ketua tabib, kau tidak usah khawatir."
"Baiklah."
Aku berjalan riang menuju kamar pangeran, sesekali aku menunduk hormat saat berpapasan dengan pejabat istana. Mereka terlihat sibuk sampai tidak pernah membalas hormatku. Di desa tempatku tinggal kami selalu bertegur sapa baik dengan tetangga mau pun dengan orang asing yang hanya sekadar singgah untuk beristirahat.
Kami terlihat akrab walau pun tidak saling mengenal. Tapi di istana ini berbeda. Mereka lebih cuek satu sama lain. hanya mementingkan kedudukan sendiri.
"Anda yakin tidak akan menerima wanita itu sebagai tabib?"
Langkah kakiku terhenti dekat sebuah ruangan. Samar-samar kudengar percakapan di ruang pertemuan. Aku mendekat, rasa penasaranku mulai muncul.
"Sudah aku katakan padamu, Mpu Lim. Aku tidak akan menerima seorang wanita sebagai tabib. Itu prinsipku."
Aku terdiam, meremas nampan yang kubawa. Keadaan di sekitar sepi, membuat percakapan itu terdengar lebih jelas di telingaku.
"Bagaimana jika dia lulus ujian yang kau berikan?"
"Aku akan memberikan Sang Wei ujian terberat. Sampai dia menyerah."
Tatapanku kosong, aku seperti orang dungu selama ini. Dipermainkan sesuka hati. Aku marah? Tidak. Aku tidak marah tapi kecewa.
"Saya rasa itu tidak adil, Tuanku! Sang Wei adalah tabib hebat, sangat disayangkan jika keahliannya kita abaikan."
"Kau benar, Mpu, tapi kekurangannya adalah dia perempuan. Dia tidak boleh berada di istana ini."
Aku tidak bisa mendengar percakapan itu lagi, pikiranku kacau. Jadi ujian ini hanya untuk membuatku putus asa? Apa karena aku perempuan mereka tidak mau menerimaku? Seseorang menyentuh pundakku. Aku tersadar dari pikiran kalutku.
"Sang Wei, kau mendapaat tugas lain dari kepala dapur dan tabib kepala," bisiknya padaku. Pelayan itu menatapku yang masih diam tak berkutik.
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanku, Bi Jero? Siapa yang menggantikan tugasku?" Aku mengangkat nampan yang kubawa.
"Aku yang akan membawanya untuk pangeran. Pergilah! Jangan sampai mereka marah," ujarnya pelan.
"Kau tahu jika mereka marah? Habislah kita," lanjutnya.
Aku mengangguk, dengan berat hati kuserahkan nampan itu. Bi Jero kemudian berlalu dari hadapanku. Berjalan ke ruangan pangeran.