Hidden Moon

madiani_shawol
Chapter #12

Chapter 12

Pangeran menyeret tanganku keluar aula istana. Tarikannya sangat kasar, apa pangeran marah karena aku menghilang tadi? Pangeran melepaskan genggaman tanganku saat sampai di taman istana. Meski hanya diterangi sinar rembulan tatapan tajamnya terlihat begitu menyeramkan.

"Sang Wei, jujur padaku apa aku kurang baik padamu? Apa aku tidak pantas untukmu? Kenapa kau melakukan semua ini padaku?" tanya pangeran dalam satu tarikan napas.

Pangeran memejamkan matanya, napasnya mulai teratur. Aku mendekat, tercium bau arak yang begitu menyengat.

"Pangeran aku―"

"Tidak perlu mengatakan apapun, aku bisa mengerti akan penolakanmu waktu itu. Apa karena kau sudah memiliki teman pria?" tanya pangeran dengan pilu.

Aku menghela napas pelan, kata-kataku tercekat. Aku sendiri bingung ingin mengatakan apa? Aku bahkan tidak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.

"Sang Wei, aku benar-benar mencintaimu. Saat pertama pertemuan kita di pasar kau sudah membuatku gila. Aku bahkan melukis kenangan itu, aku tidak bisa melupakanmu, Sang Wei. Apa begitu sulit bagimu berada di sisiku?"

Cairan bening menetes begitu saja. Belum pernah pangeran berbicara sepilu ini. Aku dalam posisi serba salah. Apa aku harus menerima pangeran? Atau menolaknya?

"Pangeran, maafkan aku jika mengecewakanmu. Tapi kita terlalu berbeda, akan sulit untuk menjalankannya," isakku.

Pangeran menangkup kedua pipiku dengan lembut. Diusapnya air mataku dengan jemarinya. Matanya memerah karena mabuk.

"Maafkan aku, jika bersamaku membuatmu tersiksa. Aku hanya seorang pria yang tidak memiliki apapun. Aku hanya memiliki cinta untukmu," ujarnya. "Aku tidak akan memaksamu untuk menerima perasaanku."

Pangeran berbalik memunggungiku, kepalanya tertunduk. Hatiku benar-benar sakit, aku tidak punya pilihan lain. Aku sudah berjanji akan menjahui pangeran.

Pangeran berjalan dengan gontai, punggung tegap itu seakan rapuh. Aku menggeleng.Iini adalah keputusan terbaik untuk semuanya. Aku yakin pangeran akan mendapat pendamping yang lebih baik.

Aku kembali ke kamarku. Bahkan bernapas pun rasanya sesak. Aku hanya meringkuk di atas tempat tidur. Pikiranku masih berkecambuk.

Apa keputusan yang kuambil sudah benar? Apa ini akhirnya? Apa ini yang aku inginkan? Apa aku bahagia? Pertanyaan itu terus melintas dalam pikiranku.

Aku goyah, aku dikalahkan dengan hatiku. Aku terjatuh terlalu dalam pada perasaanku sendiri. Aku terlalu munafik. Kuremas rambut panjangku menghilangkan rasa pusing yang mulai menyerang.

Aku bangkit dari tidurku. Berlari ke arah kamar pangeran. Aku membuka kasar ruangan itu. Gelap. Tidak ada penerangan sedikitpun di kamar ini. Kucari pangeran di tempat lain, mungkin saja pangeran ada di luar.

Kutelusuri setiap sudut istana. Aku merasa kehilangan, dimana pangeran sekarang? Apa dia pergi ke suatu tempat?

Aku mencarinya ke taman tempat kami berpisah beberapa saat lalu. Tetap tidak kutemukan sosoknya di sana.

"Pangeran, kau dimana?" lirihku.

Sayup-sayup terdengar suara nyanyian. Aku mencari sumber suara itu. Jujur saja suara itu lebih sumbang dari suara Asih. Tidak layak untuk didengar tapi layak untuk dikasihani.

Rasa lega menjalari hatiku, saat melihat pangeran di depan kolam ―tempat aku dan Badra bertemu sebelumnya. Aku mendekati pangeran dengan langkah pelan. Sepertinya pangeran tidak menyadari kehadiranku.

Sebotol arak berada di tangannya, bisa kutebak pangeran benar-benar mabuk saat ini. Suara sumbang itu terdengar lagi, aku menutup mulutku menahan tawa saat melihat pangeran menari-nari tidak jelas.

"Pangeran," kataku cukup keras.

Pangeran menoleh, dia tersenyum melihatku.

"Apa kau malaikat yang dikirimkan Dewa untukku?" ujarnya. Sesekali pangeran cegukan, dia menghampiriku dengan sempoyongan.

"Kau cantik sekali, tapi Sang Wei-ku lebih cantik," ujar pangeran dengan tertawa lepas. Pangeran memainkan ujung rambutku .Matanya terlihat sayu begitu juga dengan wajahnya terlihat pucat.

"Pangeran, lebih baik Anda beristirahat, mari saya antarkan."

Pangeran menggeleng, menolak ajakanku. Ditariknya tanganku untuk ikut menari, sesekali pangeran meneguk arak di dalam botol itu. Aku meraih botol itu dengan cepat sebelum pangeran menghabiskannya.

"Pangeran berhentilah minum, jangan sampai kau pingsan." Pangeran tidak menghiraukan ucapanku, ia kembali merebut botol arak itu.

Aku mencoba merebut kembali, tapi pangeran mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Apa pedulimu padaku? Bahkan Sang Wei sama sekali tidak perduli padaku," bentaknya.

"Pangeran, sadarlah ini aku, Sang Wei," ujarku.

"Bohong!! Kau bukan Sang Wei, dia tidak akan perduli padaku. Dia tidak pernah mencintaiku," hardiknya.

Aku menangis, kenapa rasanya sakit sekali melihat pangeran sekacau ini. Apa aku terlalu dalam menorehkan luka di hatinya?

"Siapa bilang dia tidak mencintaimu, Pangeran? Apa kau pernah melihatnya membencimu?" Pangeran menatapku nyalang.

"Hahahahaha aku bahkan dengan bodohnya mengungkapkan perasaanku padanya. Tapi apa? Dia tidak pernah membalasnya. Dia lebih memilih bersama pria lain dari pada diriku."

Aku tidak sanggup lagi mendengar tuduhan pangeran.

Lihat selengkapnya