"Sebenranya kita...."
"Ehhmm maaf mengganggu, apa boleh saya membawa nampannya ke dapur?" ujar Asih memecah keheningan.
"Tentu. Maaf Asih aku melupakanmu," ujarku dengan senyum lebar.
"Aku mengerti mbok, dengan orang yang dimabuk kepayang," ledek Asih .
Diambilnya nampan kosong itu, kemudian Asih pergi setelah menatapku penuh arti.
Kutatap pangeran setelah pintu tertutup.
"'Sebenarnya kita tidak boleh bermalas-malasan di saat rakyat memberikan kepercayaan. Harus kerja keras dan cerdas' begitu yang Anda katakan pada saya." Aku tersenyum menutupi kebohongan yang kubuat.
"Benarkah? Aku tidak ingat sama sekali?" balas pangeran.
"Itu karena pangeran sedang mabuk kemarin," ujarku meyakinkan.
"Mungkin saja," gumamnya.
Suara pintu yang diketuk terdengar sangat nyaring. Seorang pelayan masuk setelah pangeran mengizinkan.
"Maaf pangeran, Acarya Nanda sudah menunggu," ujarnya setelah memberi hormat.
"Baiklah aku akan menemuinya." Pangeran menatapku kembali setelah pelayan itu keluar.
"Aku akan menemui Acarya mungkin akan seharian."
"Hhmm," gumamku.
Pangeran berjalan keluar dari kamar, aku mengikutinya dari belakang. Tidak satu pun kata yang terucap sampai kami berpisah di persimpangan.
Aku berjalan dengan pelan menikmati semilir angin yang bertiup. Ya, mungkin tidak ada salahnya aku pergi keluar istana. Tidak akan ada yang mencariku bukan?
Aku pergi ke pintu belakang istana, ini salah satu cara untuk keluar istana dengan aman.
"Anda mau ke mana?"
Aku berbalik saat seorang prajurit memergokiku.
"O... oh itu, aku mau melihat tanaman obat yang kutanam, aku harus merawatnya. Itu perintah tabib kepala," ujarku.
"Hmm... baiklah." Pengawal itu pergi setelah mendengar penjelasanku.
Setelah melewati taman belakang, maka aku akan tiba di luar istana. Hanya perlu mengelabui penjaga gerbang, saja.Penjagaan di pagi hari sangat ketat, aku harus mengendap-endap agar tidak diketahui.
"Tunggu... Nona ingin pergi kemana?"
Aku menoleh dan tersenyum pada penjaga gerbang itu.
"Waahh... aku bertemu kalian lagi, aku harus pergi sebantar," ujarku.
"Maaf Nona Sang Wei apa Anda mendapat izin?" tanya prajurit berbadan pendek.
"Belum... tapi kalian pasti mengizinkannya, 'kan? Aku mohon jangan katakan pada siapa pun."
Mereka adalah prajurit yang mengawalku saat pengasingan dulu, entah nasib buruk atau baik aku bisa bertemu mereka lagi.
"Baiklah, tapi Nona harus segera kembali!" ujarnya tegas.
"Tentu aku akan kembali."
Aku berlari sekuat tenaga. Kenapa rasa sakit di dadaku muncul kembali? Air mataku menetes dengan deras, biarlah orang-orang menganggapku tidak waras menangis di sepanjang jalan. Aku tidak perduli.
Sesekali aku berhenti untuk mengatur nafas yang mulai ngos-ngosan.
Aku berlari menuju hutan, tempat dimana aku sering bertemu Badra. Batu besar menjadi tanda bahwa aku sudah sampai. Batu besar yang sering Badra duduki.
"Kau dimana? Aku tidak bisa berteriak memanggilmu," gumamku.
Aku seperti orang yang kehilangan akal sehat. Aku duduk dan bersandar di batu besar itu. Kutekuk kedua kakiku. Angin bertiup cukup kencang. Hanya suara burung yang menemaniku di kesunyian.
"Wahai anak muda, ada apa engkau datang kemari dan bermuram durja?"
Aku tersentak, siapa pemilik suara itu. Di siang hari di tengah hutan yang banyak pohon bambu. Apa itu suara memedi yang orang-orang katakan? Aku mulai gemetar ketakutan. Aku ingin pergi tapi kakiku terasa kaku untuk digerakkan.
"Wahai anak muda, apa engkau bisu? Atau bisulan?"
Suara itu semakin jelas terdengar, aku semakin takut. 'Sang Wei jangan berpikir yang buruk, kau harus berani', batinku menyemangati diri.
Aku teringat kata ibu, "Jangan menjawab pertanyaan orang yang belum kau lihat. Jika kau menjawabnya kau akan dijemput ke dunianya. Kau bisa saja menghilang."
Aku menutup telingaku rapat-rapat. Tidak mau lagi mendengar suara gaib itu.