Hidden Path

Syifa Fauziah
Chapter #1

01 - Timeline

Indonesia, 2009

Bendera kuning yang basah itu masih terikat pada tiangnya. Sayup-sayup angin berusaha meniupnya. Meski baru saja hujan lebat berhenti dan menyisakan gerimis kecil, beberapa orang berpakaian hitam tampak masih berkumpul di sebuah rumah duka.

Seorang pria datang menghampiri sebuah bingkai foto dengan pita berwarna hitam yang menampilkan wajah seorang pria paruh baya. Ia meletakkan setangkai bunga Krisan pada meja yang dipenuhi bunga-bunga itu, lalu memberikan penghormatan terakhirnya pada sosok pria dalam frame foto tersebut dan keluarganya kemudian pergi. Tidak banyak orang yang datang pada upacara pemakaman tersebut. Pemakaman Dani dilakukan berdasarkan upacara pemakaman Korea Selatan, negeri asal istrinya. Sehingga tidak nampak jasad yang terbujur kaku dibaringkan untuk dilihat para pelayat seperti pemakaman pada umumnya. Hal ini membuat prosesi pemakaman terasa cukup asing bagi kebanyakan tamu yang datang untuk berduka saat itu.

Sementara itu seorang gadis remaja tanggung yang mengenakan sangbok (pakaian pemakaman) hitam terduduk lemas di lantai sambil menatap bingkai foto yang berdiri tegak pada meja penghormatan itu. Ia tidak tersenyum, namun tidak juga bersedih. Air matanya menetes meski tatapan matanya tetap kosong, seolah rasa kesedihannya sudah terkuras habis dan hanya menyisakan pertanyaan dan penyesalan yang terpendam dalam benaknya.

“Hana, makan dulu, nak.” Seorang wanita menghampiri gadis itu dan berlutut di hadapannya. Namun gadis yang dipanggil Hana itu hanya menggeleng lemah.

“Aku enggak lapar, Tante.” ucap Hana pelan. Wanita itu tidak bisa memaksakan Hana yang tenggelam dalam kesedihannya sehingga memilih untuk meninggalkan gadis itu sendiri. Hana harus berada di dekat altar, menggantikan Marin--ibunya yang sedang beristirahat, untuk menemui para tamu yang memberi penghormatan terakhir. Entah bagaimana harus menjelaskannya, perasaan Hana bagaikan gelombang laut di tengah badai, begitu berkecamuk di antara rasa kesedihan, penyesalan, amarah dan kekecewaan. Tidak peduli berapa orang yang datang menghampirinya dan berbelasungkawa, ia hanya menatap lurus wajah tersenyum sang ayah pada bingkai foto sambil sesekali menghapus air mata yang jatuh dengan sendirinya.

Korea, 2016

Tujuh tahun telah berlalu dan hari ini adalah hari peringatan kematian Dani yang ke tujuh. Hana yang telah tumbuh dewasa menjadi wanita muda yang cantik tengah mempersiapkan perlengkapan untuk upacara peringatan kematian sang ayah.

“Ayo, Ma.” Ajak Hana kepada ibunya. Dengan tatapannya yang seolah telah menimbun kerinduan yang luar biasa pada sosok sang ayah, ia dan ibunya melakukan ritual jesa (ritual peringatan hari kematian) sederhana. Keduanya menatap bingkai foto Dani dalam diam. Segenap kerinduan yang mereka miliki, seolah menjadi satu-satunya bahasa yang bisa diutarakannya dari dalam hati masing-masing.

Sepeninggal sang ayah, waktu yang berjalan terasa begitu lambat bagi Hana. Rasa penyesalan dalam dirinya membuat waktu terasa tidak berjalan seperti seharusnya. Dinginnya udara musim hujan dan wangi bunga Krisan yang bertumpuk di meja altar kala itu meninggalkan jejak yang tak hilang daris segala panca inderanya. Ia masih bisa merasakan dinginnya masa remaja yang dilaluinya tanpa Sang Ayah, dan bagaimana ia berusaha menjadi batu karang yang kuat di tengah lautan saat kesehatan sang ibu terus menurun. Itu adalah masa-masa yang sulit. Marin dan Hana saat itu pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke kampung halaman ibunya untuk mengobati diri dari rasa kehilangan.

Namun nyatanya rasa kehilangan tidak lapuk meskipun terpisah jarak yang jauh. Saat sang ibu jatuh sakit, Hana tidak hanya harus menguatkan ibunya, namun juga dirinya. Ia mengubur paksa rasa kehilangan akan sang ayah demi sang ibu. Ia harus kuat demi ibunya, meski perlahan perasaan depresi mulai menghantuinya.

“Ma,” panggil Hana.

 “Hari saat eomma memutuskan untuk menghentikan pencarian, saat itu kita sebenarnya masih bisa berusaha mencarinya, kan? Kenapa pencarian ayah saat itu dihentikan?” tanya Hana.

Marin menoleh, menatap kedua bola mata anak perempuannya dalam-dalam.

“Tidak akan ada gunanya, itu sia-sia.” jelas Marin.

Kedua alis Hana bertaut menyatakan ekspresi tidak setuju. “Meskipun begitu ayahkan warga Indonesia. Kenapa harus dilakukan jangryesik (pemakaman dengan cara budaya Korea) dan bukan seperti pemakaman orang Indonesia pada umumnya?”

Marin bergeming dengan ekspresi wajahnya yang seolah tidak ingin membahas hal itu.

Hana tertunduk dan merasa bersalah telah menanyakan pertanyaan tersebut. Seketika itu keheningan menyeruak di antara mereka. Ia menutup rapat bibirnya meski merasa tidak puas dengan jawaban yang dilemparkan Marin. Ia tahu ada bagian dalam dirinya yang masih menyalahkan keputusan sang ibu. Namun Hana terus menahannya karena tidak ingin ibunya terluka lagi.

Eomma” panggil Hana ragu-ragu. “Aku akan ke Jakarta.” tambahnya. Marin sontak menoleh dengan cepat mendengar ucapan anak perempuannya yang tiba-tiba itu.

“Aku ingin mencari tahu sendiri apa yang terjadi saat itu. Entah di mana, kebenarannya pasti tersembunyi di suatu tempat.” lanjut Hana yang membuat Marin tidak bisa berkata-kata.

Wanita paruh baya itu tidak tahu harus berkata apa. Mendengar nama kota itu saja membuat dirinya bergidik ngeri seolah meninggalkan bekas trauma dalam ingatannya. Tentu, ia berharap ada keajaiban atau setidaknya ia bisa menemukan jasad sang suami di sana jika kemungkinan terburuk sudah terjadi. Tapi di sisi lain, ia khawatir hal buruk lainnya menanti anak semata wayangnya jika ia kembali ke sana.

Lihat selengkapnya