Demi waktu Ashar. Sungguh manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebenaran, dan orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kesabaran. (QS Al-Ashr [103]: 1-3)
Ketika ingin mengelompokkan nasihat-nasihat Emha Ainun Najib, kami sempat mendiskusikannya agar pembaca mendapat gambaran yang tepat tentang isi buku ini. Pasalnya, hampir dalam setiap topik ceramah-ceramahnya, Emha Ainun Najib, yang biasa disapa Cak Nun, membahasnya dengan berbagai pendekatan, apakah itu budaya, politik, kearifan lokal, tafsir, atau bahkan sains. Dan yang menarik, audiensnya meliputi berbagai kalangan dari para intelektual hingga masyarakat awam.
Bagai pendekar yang menguasai beberapa aliran bela diri, Cak Nun sangat piawai menjelaskan masalah-masalah yang dibahas dengan caranya yang khas. Itulah sebabnya, dalam racikan Cak Nun, masalah spiritual yang berat pun jadi mudah dipahami. Kata Gus Candra Malik, “Cak Nun itu menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi.” Misalnya, ketika membahas masalah tasawuf yang berkaitan dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, Cak Nun menjelaskannya melalui pendekatan sederhana, dan dengan analogi kegiatan sehari-hari. “Ketika kamu makan, syariatnya adalah menu, tarekatnya mencari sehat, hakikatnya menjadi sehat, dan makrifatnya sehat. Makrifat itu tercapainya sesuatu.” Begitu pula ketika menjelaskan tentang wudhu itu peristiwa ruhani meskipun tampaknya seperti peristiwa jasmani. “Apa buktinya wudhu itu peristiwa ruhani? Karena yang dibersihkan bukan bagian-bagian yang kotor. Misalnya, (maaf) kentut. Yang kentut adalah dubur. Karena kentut wudhunya batal, harus wudhu lagi. Kalau wudhu peristiwa jasmani, kenapa yang dibersihkan bukan duburnya? Yang dibersihkan malah muka dan semua bagian yang masuk dalam rukun wudhu.”