Hidup Itu harus Pintar Ngegas Ngerem

Noura Publishing
Chapter #3

Pemahaman Melalui Rasa

Tidak semua pembelajaran itu bersifat kognitif. Tidak semua pemahaman itu melalui kata. Sebenarnya pemahaman yang paling mendalam itu adalah melalui pengalaman dan rasa. Kamu tidak langsung memahaminya, tetapi ia menjadi file di dalam hati dan jantungmu. Bila suatu ketika kamu mengalami sesuatu, barulah terbuka kemampuan yang baru itu, yang tidak disangka-sangka.

Kamu belajar di kampus cari ilmu atau pengetahuan? Apa bedanya ilmu dan pengetahuan? Kalau ilmu, bahasa Inggrisnya apa? Science. Kalau pengetahuan? Knowledge. Nah, yang dicari di kampus itu science atau knowledge? Persentase kurikulum antara science dan knowledge, lebih tinggi mana? Lebih besar mana? Knowledge. Jadi, ibarat truk, knowledge itu bak dan isinya. Tapi, ilmu atau science adalah “mesin” truk itu.

Kamu kuliah supaya mampu hidup. Kemampuan hidup terletak pada mesin kehidupan. Mesinnya ada di otak dan ruhanimu. Supaya mesinnya lengkap dan canggih, kamu membutuhkan bahan-bahan, pengetahuan-pengetahuan yang dimuat oleh “bak truk” tadi.

Di Indonesia, ilmu dan pengetahuan tidak terlalu dibedakan. Karena itu kalau ditanya, “Mengapa kamu sekolah?” Jawabnya, mencari ilmu pengetahuan. Lho, mencari ilmu atau pengetahuan? Metodologi atau metode itu ilmu. Kalau teks-teks wacana, itu pengetahuan.

Kamu jangan cuma pintar di sekolah, tapi harus pintar juga hidup bersama. Banyak orang pintar hidup padahal tidak pintar sekolahnya. Banyak orang pintar di sekolah tapi tidak pintar hidup. Bekerja tidak bisa, dagang tidak bisa, jadi orang yang dipercaya orang lain tidak bisa, akhirnya nyaleg. Sebab, nyaleg itu mudah.

Kalau ada orang yang tidak jelas pekerjaannya, hanya bisa mengacak-acak, palsu-palsu, itu karena, jika dilepaskan sendiri sehari-harinya, dia tidak bisa hidup. Jualan mi tidak bisa. Ngojek malu.

Apa hubungannya puisi sama pengetahuan dan ilmu? Ada ilmu, misalnya, Allah mengatakan, “Wa ‘allama âdamal asmâ’a kullaha; Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama benda-benda.”

Jika dilihat kalimat Al-Quran, kira-kira ada enggak yang menyebut “benda-benda”? ‘Kan, cuma “nama-nama”, toh? Menurut kamu, apa maksud “nama-nama” yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam? Menurut saya, yang diajarkan Allah adalah fenomena kehidupan yang kelak akan dijumpai Adam. Misalnya, hati yang gelisah, hati yang bingung, semangat adrenalin kita naik. Jadi, yang dimaksud adalah fenomena atau fenomenologi, misalnya tentang liberalisme dan bidah.

Adapun “nama-nama” yang kita tahu sekarang adalah hasil perjanjian antarmanusia. Misalnya, pohon, meja, dan kursi, itu adalah hasil perjanjian. Allah tidak perlu mengajarkan kepada manusia. Kalau, misalnya, saya dan kamu sepakat menyebut “baju” sebagai “kaos kaki”, kalau saya ngomong “kaos kaki”, kamu tahu maksud saya baju. Itu sandi di antara kita. Perjanjian di antara kita. Iya, ‘kan? Tidak perlu ada Tuhan dalam kesepakatan itu.

Jadi, semua nama benda di dunia ini sekadar hasil perjanjian dalam sebuah komunitas. Tidak perlu Allah untuk mengajarkannya. Yang diajarkan Allah adalah fenomena-fenomena yang akan kamu temui dalam kehidupan. Misalnya, nanti anakmu kalau lahir mesti nangis. Siapakah yang mengajari dia menangis? Allah.

Seumpama Gusti Allah yang mengajarkan itu, langsung mengajar atau menggunakan asisten? Bisa Allah langsung, bisa asisten.

Begini saja, umpamanya, Gusti Allah yang mengajarkan langsung bayi menangis, masa loncat sini loncat sana? Ada bayi di Ethiopia, dia datang, lalu mengajarkan; ayo nangis ... nangis ... lalu loncat ke Sidoarjo, hey, nangis ... nangis.

Izrail juga begitu, masa mencabut nyawa loncat sini loncat sana. Di Tiongkok sepuluh. Bet, bet, bet. Loncat ke Arab. Yang dicabut bukan cuma satu. Padahal Izrail cuma satu.

Dia tidak membutuhkan pencapaian ruang waktu, seperti dunia materiel, karena dia gelombang yang sangat tinggi. Dia hidup di langit keenam. Begitu. Jadi, yang mengajarkan bayi nangis, Gusti Allah, Mahabesar, begitu cara-Nya mengajarkan. Apalagi mengajarkan menyusu, masa harus diajarkan satu-satu; begini, lho caranya. Mulutnya begini.

Masa Gusti Allah, Akbar, Rahmân Rahîm, mengajarkan bayi menyusu. Kira-kira pasti ada asistennya, namanya malaikat.

Malaikat, dalam tafsir saya, secara epistemologis berasal dari kata muluk. Malik subjeknya. Malaikat adalah rentangan kuasa Allah. Maka, cara membacanya, “malâikat”. Jadi, rentangan.

Jangan menilai saya benar. Ini hanya tafsir saya. Jangan lantas disebarkan ke mana-mana, seolah-olah saya ini membawa kebenaran. Enggak. Saya enggak membawa kebenaran. Saya ini hanya ngomong. Yang benar hanya Gusti Allah.

Saya tidak akan pernah membela diri saya, wong membela Allah saja saya belum pernah bisa. Belum pernah punya kesempatan. Jadi, saya tidak akan pernah membela diri saya. Kamu ngomong sama saya santai saja. Kamu saya salahkan, ya, santai saja. Kamu menyalahkan saya, saya, ya, santai saja. Tidak apa-apa, sama-sama tidak tahunya, kok, repot. Makanya jadi orang itu jangan sok. Kelihatannya mukanya halus, tapi aslinya seperti Dursasana.

Tidak seorang pun dari hamba Allah, kecuali Rasulullah Muhammad Saw. yang semua halnya benar. Soal benar dalam sains, itu hal yang benar dalam catatan, bukan hal yang sebenarnya, benar.

Benar kita relatif. Jadi, tidak usah bersitegang di antara kita. Yang saya omongkan selalu saja; jangan percaya saya. Kalau saya mendatangi kamu dengan tujuan supaya percaya saya, saya merugikan kamu. Saya datang padamu untuk mendorong supaya kamu percaya kepada pemilik kebenaran mutlak, Allah Swt. Supaya jika mengalami apa-apa harus yakin pada kasih sayang Allah. Kalau kamu yakin sama saya, membenarkan saya, belum tentu saya bisa menolong.

Kebenaran ada tiga jenis. Pertama, kebenaran kita sendiri. Saya punya kebenaran saya sendiri, kamu punya kebenaran sendiri. Kebenaran seperti ini tidak ada yang menjamin. Satu-satunya jalan adalah tawaduk satu sama lain.

Lihat selengkapnya