SANGAT SEDIKIT
Pernah di suatu malam, aku mencuit di Twitter:
“Dosa sungguh diri ini, jika hidup yang kerap kita keluhkan ternyata adalah hidup yang banyak orang inginkan ....
Hampura, Gusti Allah Swt.”
Ada yang langsung nyamber, “Ada dalilnya, nggak?”
Entah mengapa, bukannya menjawab, aku malah didera kantuk. Tertidur nyenyak, dan baru esok paginya kembali memelototi Twitter, meski kedua mataku tidak bisa membentuk sepasang mata bola untuk kuasa disebut melotot, bahkan cenderung rada sipit.
Seperti ini yang bisa kusampaikan:
Mengapa “Iqra” diperintahkan-Nya paling pertama, bukan yang lain?
Kumaknai, jangan pernah berhenti belajar. Dan semakin besar pengetahuanmu, semakin kau merasa kecil, karena ternyata kau hanya tahu sangat sedikit ....
Karenanya, jangan berhenti “Iqra!”.
Simple jabarannya. Contohnya, sekali waktu, kutemukan kata sederhana: “semoga”. Kukaji, kutemukan makna yang tak sesederhana kata itu sendiri.
Selama seseorang masih mengucapkan kata “semoga”, kupercaya ia masih percaya ada “kekuatan lain” di luar dirinya yang Maha Berkehendak Maha Menentukan ....
Kupercaya karenanya, semua yang bersemoga masih bagian dari “orang-orang religius”.
Darinya juga kupercaya, tak mudah sungguh membaca isi hati orang lain.
Apalagi, ketika sekolah dulu, yang kupelajari cuma “sistem pencernaan”, bukan “sistem perasaan”. Isi laut mudah diduga, apalagi cuma isi perut, isi hati siapa yang tahu.
Karenanya kudiingatkan ajaran lama: