Ujian sekolah pun sebentar lagi, aku sudah belajar dengan giat dan nanti saat ujian aku tinggal mengerjakan soal dengan fokus dan teliti. Ujian ini sangat berarti bagiku karena ini menentukan apakah aku akan dapat beasiswa kuliah atau tidak. Ketika hendak pulang sekolah tiba-tiba Heni ingin memanggilku di dalam mobil dan menyuruhku untuk naik ke mobilnya
‘’Mau kemana Hen?’’
‘’Aku mau menghantarkan kamu pulang’’
‘’Tidak usah Hen. Aku malu, rumahku jelek’’
‘’Tidak apa-apa Di’'
Kemudian kami pun pergi ke rumahku, walau aku agak malu karena rumahku sangat jelek sekali tapi karena Heni memaksa akhirnya aku memperbolehkan saja untuk kerumahku. Sampai di rumahku aku langsung mengajak Heni untuk masuk rumahku dan menyilahkannya untuk duduk
‘’Beginilah rumahku Hen, jelek kan’’
‘’Kamu sudah lama tinggal di sini’’
‘’Semenjak kebakaran itu kami tinggal di sini, aku juga tidak tahu bekas rumah siapa. Tapi dari pada aku dan keluargaku tidur di jalan mending kami tinggal disini, walau pun jelek. Kami juga siap kalau seumpanya pemilik rumah ini datang dan mengusir kami’’
‘’Oh, terus ibu kamu mana?’’
‘’Ibu ku semenjak adikku meninggal dia menghilang dan aku tak tahu searang ibuku di mana!’’
‘’Hmmm…yang sabar yach di. Kamu selama menunggu nilai ujian kamu mau ngapain?’’
‘’Paling aku mencari barang bekas’’
‘’Di, di toko bangunan ayahku membutuhkan karyawan sebagai kasir. Kamu mau tidak kerja di sana?’’
‘’Mau…mau…mau…serius kamu?’’
‘’Iya. Tapi gajinya tidak terlalu besar tapi makan dan tempat tinggal di sediakan. Jadi kamu nanti kalau kerja di sana kamu tinggal disana. Kamu mau gk?’’
‘’Aku mau Hen. Tapi kalau aku tinggal di sana bagaimana dengan adikku?’’
‘’Ya adikmu tinggal di sana juga’’
‘’Memang boleh?’’
‘’Nanti aku bilang sama ayahku’’
‘’Terima kasih Hen’’
‘’Sama-sama’’
‘’Terus kapan aku bisa kerjanya’’
‘’Entar yach, aku ngomong dulu sama ayahku’’
Kemudian kami pun berbincang-bincang tentang setelah lulus sekolah mau kemana dan juga cita-cita kami, setelah waktu menunjukan pukul 15:00 Heni pun pamitan untuk pulang. Setelah Heni pulang aku berjingkrak-jingkrak kegirangan karena aku tidak harus kerja jadi pemulung lagi. Tapi di saat aku sedang gembira seperti ini,aku langsung teringat ibuku. Andai saja ibuku ada di sini mungkin beliau akan merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Kegembiraanku tak sempurna tanpa ibu di sampingku sekarang. Tiba-tiba pintu terbuka dan aku lihat ternyata adikku yang baru pulang main dari rumah temannya dan aku pun menceritakan kabar gembira itu kepada adikku, walau pun aku tahu adikku tidak mengerti apa-apa tapi tetap aku ceritakan karena hanya dialah satu-satunya keluarga ku yang ada di sampingku tapi setelah aku menceritakan itu aku bisa lihat di wajahnya dia begitu gembira dan juga antusias. Sebenarnya aku sangat kasihan sekali kepada adikku ini, dia masih kecil tapi harus menerima cobaan yang berat ini. Seharusnya di umur-umur adikku, seharusnya adikku mendapat kasih sayang kedua orang tua. Tapi ini malah jauh dari kasih sayang orang tua dan aku pun tidak sepenuhnya memberikan kasih sayang kepada adikku ini karena aku jarang di rumah. Aku harus mencari botol bekas sedangkan adikku Lina di rumah dan kadang bermain dengan anak tetangga dan untungnya saja tetangga mengerti keadaan kami sehingga kadang sebelum aku pulang kerumah Lina di jaga oleh tetangga. Walau rumahnya agak jauh dari rumahku tapi tetangga ini sangat baik kepadaku dan juga adikku. Tapi kalau aku bisa kerja di tempat ayahnya Heni, mungkin kami akan lebih dekat lagi dan aku bisa memberikan kasih sayang kepada adikku meski tak bisa seperti ibu kepada anak. Kadang aku sangat sedih sekali apa bila adikku menanyakan keberadaan ibu karena aku bingung harus jawab apa. Aku tahu adikku rindu kepada ibu, aku pun sama merindukan ibu.Kadang di waktu malam saat aku melihat kearah adikku yang sedang tidur aku tak kuasa menahan air mata ini. Aku memikirkan bagaimana kehidupan aku dan adikku kedepan apakah kami akan begini terus atau kah kami akan bahagia. Banyak sekali yang aku pikirkan dalam hidup ini, sampai-sampai sekarang aku kadang suka pusing tiba-tiba.
Dua bulan kemudian aku sekarang sudah bekerja di tempat ayahnya Heni yaitu di toko bangunan. Aku senang sekali kerja di sini karena ayah Heni sangat baik, bukan baik kepada diriku saja tapi juga kepada adikku Lina. Awalnya Lina tidak mau pindah ke tempat ini di karenakan dia harus pindah sekolah dan juga harus pisah dengan teman-teman sekampungnya tapi aku berusaha untuk menasehatinya dan akhirnya dia pun mau. Awalnya sih adikku sering menangis tapi lama kelamaan dia pun menikmati tinggal di sini. Kami sangat senang sekali tinggal di sini karena di sini aku mempunyai keluarga baru yaitu para pekerja yang bekerja seperti diriku ini. Walau umur aku dan para pekerja yang lain terpaut jauh tapi aku bisa mengobrol dengan mereka seperti adik dan kakak. Mereka sering sekali memberitahu dan menasehati aku.
Sepulang sekolah aku sering melihat Geby duduk di bangku sekolah, aku melihatnya sangat kasihan.aku tahu bahwa dia masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Aku ingin mendekat dan berusaha untuk menenangkannya tapi aku selalu tak berani. Hari ini ku lihat Geby terus merenung dan melamun dan kulihat juga meneteskan air mata. Aku melihat itu sudah tak tega lagi dan aku pun memberanikan diri untuk mendekati Geby.
‘’Hay’’ sapa ku sambil duduk di samping Geby
‘’Iya’’ jawab Geby sambil mengusap air matanya
‘’Boleh aku duduk di sini?’’
‘’Boleh’’
‘’Ku lihat setiap pulang sekolah kau selalu duduk di sini sendirian’’
‘’Bagaimana kau tahu sepulang sekolah aku selalu duduk di sini?’’
‘’Ya soalnya aku sering pulang terakhir kalau di suruh guru untuk menaruh buku LKS dan ku lihat kamu pasti duduk di sini sendirian’’
‘’Hmmm...’’
Tiba-tiba suasana hening karena Geby hanya diam saja. Aku menatap sesekali wajah Geby yang di matanya sedikit ada sisa air mata. Lalu ku menatap langit sambil memikirkan apa yang akan ku bicarakan lagi ke Geby
‘’Apa gara-gara kau putus sama Kevin?’’
Sebenarnya aku takut dan juga tak enak hati menanyakan ini ke Geby tapi tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulutku
‘’Maksudmu’’ jawab Geby sambil menoleh ke arahku
Aku kaget ketika Geby menoleh ke arah mukaku, aku takut dia marah atas pertanyaanku.
‘’Maaf kalau aku sok tahu. Tapi ku perhatikan semenjak kamu putus dengan Kevin, kamu sering melamun dan duduk sendiri di sini!’’
‘’Iya Di, aku belum bisa melupakan si Kevin’’
‘’Kamu masih suka dia?’’
‘’Iya’’
‘’Hmmm...memang susah melupakan seseorang yang kita amat cintai. Tapi bagaimana pun juga kamu harus berusaha melupakannya. Kasihan hidup kamu hanya meratapi kepergiannya sedangkan dia tidak sama sekali memikirkanmu. Hidup kamu masih panjang, mungkin suatu saat nanti kamu akan menemukan yang lebih baik darinya. Jadi kamu harus kuat dan berusaha melupakannya’’
‘’Hmm...terima kasih Di’’
‘’Dengan kamu seperti ini tidak akan merubah keadaannya. Sebaiknya kamu sekarang pulang dan membuka lembaran hidup kamu’’
‘’Terima kasih yach di, kamu telah menyemangati aku’’
‘’Ya sudah mari kita pulang’’
‘’Ayo’’
Kemudian kami pulang bersama, sambil di perjalanan kami berbincang-bincang. Di persimpangan jalan kami berpisah karena arah jalan pulang kami berbeda.
Ketika hendak tidur aku masih membayangkan saat-saat ngobrol bareng bersama Geby. Itu bagi ku sangat berkesan karena sekian lama selama kita kenal baru pertama kali ngobrol berdua bersama Geby dan lumayan lama. Aku mengingat saat-saat itu sambil senyum-senyum sendiri tanpa terasa aku tertidur pulas dan pagi menjelang. Pagi ini aku sangat semangat sekali bersekolah, aku ingin sekali melihat wajah Geby di sekolah apakah masih murung atau sudah kembali ceria seperti dulu. Sesampainya di sekolah saat aku hendak masuk ke kelas ku lihat Geby sedang mengobrol di tempat duduknya. Lalu ku melewati sambil ku beri senyum ketika kita saling menatap, tapi geby langsung mengalihkan wajahnya ke arah teman-temannya. Saat sampai di tempat dudukku aku menaruh tas ku sambil menatap ke arah Geby dalam hati ku berkata
‘’Kenapa Geby tadi tidak membalas senyumku malah seakan menghindar dariku, apakah Geby membenciku gara-gara kemarin aku lancang menasehatinya’’
Banyak sekali dalam pikiranku bertanya-tanya apa yang salah dalam ucapanku kemarin. Saat jam pelajaran pun aku tidak bisa konsentrasi pada pelajaran karena masih kepikiran Geby. Jam istirahat pun berbunyi lalu ku melewati Geby tapi dia berusaha seakan menjaga jarak dariku sampai menoleh ke arah muka ku pun tak mau.
Pulang sekolah aku seperti biasa di suruh oleh pak Dodo membawa buku LKS untuk menaruhnya di tempat kerjanya dan saat ku hendak ke kantor ku lihat Geby masih saja duduk di tempat biasa sambil melamun. Aku menoleh ke arahnya sesekali sambil mengobrol dengan pak Dodo
‘’Di, berat tidak?’’
‘’Tidak pak, sudah biasa’’
‘’Oh, karena sudah biasa. Baik, besok-besok bapak suruh bawa besi 50 kg setiap pulang sekolah’’
‘’Buat apa pak?’’
‘’Biar kamu biasa angkat besi 50 kg. Supaya badan kamu kekar seperti binaragawan tidak kurus seperti sekarang ini’’
‘’Hmmm...bapak ada-ada saja. Aku kurus juga karena jarang makan’’
‘’Memang kamu jarang makan Hidi?’’
Seketika aku terhenti dari obrolan saat pak Dodo menanyakan itu padaku. Karena aku tidak mau pak Dodo tahu bahwa aku jarang makan. Memang semenjak ibu menghilang aku selalu memikirkan ibu sehingga aku jarang makan. Lalu ku jawab dengan terpaksa berbohong
‘’Makan kok pak, aku tadi Cuma bercanda’’
‘’Oh. Kamu tadi lihat si Geby tidak, duduk di depak kelas?’’
‘’Lihat pak, kenapa memang?’’