Hidup Mati

Justang Zealotous
Chapter #1

Botol Air

SIRENE ambulan mengaung di depan UGD rumah sakit, diikuti suara napas laki-laki yang sengal ketika seorang perempuan dengan perut yang telah membesar diturunkan dari ambulan. Laki-laki itu—sang suami—tak pernah melepaskan genggamannya pada tangan perempuan itu—sang istri. Mulutnya juga tak berhenti bergumam: ya qowi, ya matin…

Brankar bergerak, berputar ke arah kiri, ke IGD Maternal. Seorang perempuan berpakaian serba putih bangkit dari duduknya, mendekati Sang Istri, yang semakin pucat, yang meringis tapi tak terdengar ke telinga siapapun di ruangan itu, hanya wajahnya yang mengerut menahan semua kesakitan yang menghujani perut tembus ke pinggang. Sang Suami ikut pasi, wajahnya menanti kalimat dari perempuan itu—bidan, tentang kondisi istrinya.

“Sudah berapa hari demamnya?”

“Sudah tiga hari, Bu.”

Bidan mengambil sebuah alat pengukur tekanan darah. Bidan hendak menggulung lengan baju Sang Istri, tetapi Sang Suami menjangkaunya lebih dulu. Sang Suami yang kemudian melakukannya. Bidan menempatkan manset di atas lipatan siku Sang Istri, lalu mengencangkannya hingga hanya terselip dua ujung jari di tepi manset. Bidan menekan sesuatu di monitor alat pengukur tekanan darah. Manset mengembang dan menekan lengan Sang Istri. Angka berjalan di monitor. Manset mengempis, angka di monitor berhenti pada: 80/50 mmHG.

“Ini rendah.”

“Jadi, bagaimana, Bu?” Sang Suami penasaran, bertambah gelisah.

Bidan melepaskan manset di lengan Sang Istri, meletakkan alat pengukur tekanan darah, kemudian mengambil sebuah alat pengukur suhu, menaruh ke ketiak Sang Istri, memintanya menunggu sampai terdengar bunyi…

BIPPP! Tiga sembilan derajat. Ini terlalu tinggi. Bidan gelisah, meskipun ia telah menanam kepanikannya cukup dalam. Ia tak ingin menunjukkannya pada Sang Suami yang dari tadi sudah sangat gelisah. Sang Istri semakin pucat, matanya setengah tertutup. Sang Istri terlalu lemah untuk mengeluarkan suara rintihannya. Ia terbenam dalam kesakitan-kesakitan itu.

Sang Suami membenamkan wajahnya ke arah wajah Sang Istri. Sang Suami membelai lembut wajah yang putih memudar itu dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya setia menggenggam tangan Sang Istri.

Lihat selengkapnya