PERTEMUAN kami serba kebetulan.
Suatu hari di bulan November, aku dapat SMS dari Rahmah, teman kuliah. Ia kirimin aku info soal kajian pernikahan dari ustad yang enggak pernah kudengar namanya. Memang, aku dulu tak pernah ikut kajian apapun sehingga nama-nama ustad yang sering mengisi kajian kampus selalu lewat begitu saja. Makanya, aku mengabaikan SMS itu, dan balik menyelesaikan novel yang belum tuntas kubaca. Namun, besoknya di kampus, Rahmah malah menarik lenganku dengan paksa.
“Nggak usah banyak bicara. Ikut aku saja.”
Kebiasaan. Rahmah sejak dulu begitu. Ia tak pernah membiarkan aku menolak. Termasuk hari itu, aku dan Rahmah tahu-tahu sudah berada di depan masjid kampus. Beberapa mahasiswa, baik perempuan maupun laki-laki, telah memenuhi area masjid. Rahmah antusias, sementara aku masih meragukan keikutsertaanku. Bukan tanpa alasan. Ikut kajian tak pernah, pakaianku masih terlalu ketat dibanding mahasiswi-mahasiswi lainnya yang ikut. Aku sudah pakai jilbab saat itu, tapi ujung kainnya kusampirkan ke pundak. Aku enggak menutup dada seperti yang lain.
“Taruh saja sandalmu di sana,” kata Rahmah, sedikit memerintah.
Aku dengan lunglai melepaskan sandal dan hendak menaruhnya di rak.
Dan… saat itulah kami bertemu, pertama kalinya. Ia juga hendak menaruh sepatunya di rak yang sama. Karena itu, aku langsung menarik tangan, dan ia pun demikian. Ia lalu mengulurkan tangannya mempersilakanku. Aku buru-buru menaruh sandal itu karena Rahmah terus menarik lenganku. Sekilas aku lihat wajahnya. Ia bermata teduh dan memiliki senyum yang mengembang. Aku bukan pembaca wajah, tetapi menurutku kala itu, ia adalah laki-laki yang baik.
Saat kajian dimulai, aku dan Rahmah duduk agak di belakang. Rahmah berkali-kali menggamit lenganku sambil memberitahu, “Ganteng banget ustadnya.” Aku melengos. Pandanganku sama sekali tak tertuju pada ustad ganteng yang dari tadi mengoceh soal pernikahan di atas mimbar. Aku justru fokus memperhatikan setiap mahasiswa laki-laki di barisan sebelah kiri yang berdiri dari balik tirai pembatas. Harapanku satu: melihat mata teduh itu. Namun sampai kajian selesai, aku tak pernah lagi melihatnya, bahkan setelah semua mahasiswa berhamburan keluar.
KAMI bertemu kembali secara tidak sengaja.
Saat itu, aku baru saja menyelesaikan salat ashar di masjid kampus. Aku hendak mengambil sandal di rak ketika melihatnya bolak balik memperhatikan semua sandal dan sepatu yang tersisa di rak dan di lantai.
“Ada apa?” tanyaku, tanpa ragu-ragu.
“Sandalku hilang.” Ia mengatakannya dengan suara memelas, tetapi dengan senyum yang masih sempat bertengger. “Aku tadi menaruhnya di sini,” ia menunjuk pada sebuah rak, rak yang sama saat kali pertama kami bertemu.
“Ambil saja yang ada.” Aku mengatakannya, sekali lagi, tanpa ragu-ragu.
“Jangan, dong… kasian kalau yang punya juga mencari-cari kayak aku sekarang.”
“Jadi, gimana?”
“Aku akan menunggu sampai semua jamaah di masjid pergi. Kalau ada sepasang sandal yang tersisa, aku akan mengambilnya. Itu berarti orang yang mengambil sandalku, enggak sengaja menukarnya.”
“Kalau enggak ada?”
“Anggap saja sedekah.”
Begitulah kemudian aku entah mengapa ikut menemaninya menunggu semua jamaah masjid pergi. Ia sempat menyuruhku balik duluan, tetapi aku memilih bertahan. Lagi pula, aku tak punya jadwal yang harus kuselesaikan dengan cepat. Alasan lain, aku ingin terus melihat mata teduh itu. Sepanjang menunggu, kami akhirnya bercerita banyak hal.
“Dua minggu lalu, aku lihat kamu ikut kajian juga. Kamu memang sering ikut kajian, ya?”
“Iya, sih, buat nambah ilmu. Kamu sendiri?”
“Itu pertama kali buatku.”
“Mau nikah, ya?”
“Mau, dong, tapi enggak dalam waktu dekat juga. Aku ikut kemarin itu karena teman yang maksa. Kupikir dia ikut karena isi dalam kajiannya, tahunya karena ustad yang bawain ganteng.”
Ia tertawa, renyah sekali. Selain mata teduh itu, aku sangat senang melihatnya tertawa. Garis-garis kerutan di wajahnya terlihat jelas, matanya menyipit.
“Oh iya, kamu dari jurusan mana?” tanyaku.
“Teknik Informatika.”
“Pintar benerin HP, ya?”
“Enggak selalu Teknik Informatika itu pintar benerin HP. Itu ada jurusannya sendiri.”
“Tapi, bisa, kan?”
“Memangnya kenapa dengan HP kamu?”
Aku menyerahkan HP kepadanya. Ia mengotak atik HP itu, menekan-nekan tombol, lalu berkata, “Coba cek!”
“Ini sudah lumayan jelas suaranya. Kalau begini, kamu buka jasa servis HP saja, pasti laku. Nanti aku bantu promo.”
“Kamu bisa saja.”