SEPULANG taman baca kampus, aku mendapati kabar yang selama ini kutakutkan, yang sepanjang seminggu ini hadir dalam mimpi-mimpi burukku secara beruntun. Sepupu memberitahu kalau ibu dan bapakku kecelakaan parah dalam perjalanannya menjenguk kerabat yang sakit. Mobil mereka terpelanting ke area persawahan membuat leher bapakku patah, mulut dan telinganya penuh darah, dan nyawanya tercerabut oleh malaikat Izrail saat itu juga.
Tubuhku masih bergetar saat menerima telepon itu. Aku langsung pulang ke rumah dan membawa lari motor kerabat dengan kecepatan 90 km/jam. Kata sepupu, ibu masih bisa diselamatkan dan sekarang dibawa ke rumah sakit, meskipun kondisinya juga cukup parah. Namun, tiba di rumah sakit, yang kudapati hanyalah tubuh ibu yang telah ditutupi dengan kain. Ia rupanya ikut menyusul bapak tepat setelah ambulan menurunkan tubuhnya ke UGD.
Tak ada kehilangan yang jauh lebih menyakitkan selain ditinggal ibu dan bapak secara bersamaan. Namun hal yang aku bingung, aku tidak menangis sama sekali. Air mata itu membongkah tapi enggan jatuh. Pamanku, tanteku, kerabat, semua memelukku, tetapi aku pun tak merasakan pelukan mereka. Entah, apa yang terjadi denganku saat itu?
Aku masih ingat beberapa jam yang lalu, saat bapakku menelepon sebelum mereka menaiki mobil yang akan menghilangkan nyawanya, “Bapak sudah mau berangkat, Nak, kamu baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa, minta tolong sama Om Rusdi. Ingat… jangan lupa makan dan jangan pernah tinggalkan salatmu.” Bapakku memang sering mengatakan itu, tetapi aku tidak pernah menyangka, itu akan menjadi pesan terakhirnya.
Sekarang, aku sedang duduk di atas ambulan, menuju pulang, memandangi tubuh ibu yang telah kaku ditutup kain putih. Bapak juga pulang dengan ambulan lainnya. Saat itu, air mataku masih saja enggan tumpah dari tempatnya. Sampai sirene ambulan meraung di rumah kami, sampai para pelayat datang berpakaian serba hitam menyalami dan merangkulku satu-satu, sampai tubuh ibu dan bapak dibaringkan berdampingan di tempat peristirahatan terakhir mereka, aku masih tidak menangis.
Pulang dari pemakaman, aku berjalan dengan lunglai. Tubuhku sempoyongan. Hampir-hampir aku ambruk kalau Om Rusdi tidak segera memapahku dan memintaku beristirahat. Aku pun memutuskan berbaring di karpet ruang tamu yang lapang karena kursi dan meja disingkirkan sementara waktu. Om Rusdi sempat memintaku makan, tetapi aku menolak. Perutku kosong, tetapi aku tidak lapar. Aku ingin tidur. Aku ingin memejamkan mata, meskipun tubuh ibu dan bapak, senyum ibu dan bapak, dan hentakan kaki mereka akan memenuhi bayang-bayang.
Dan, aku benar-benar tertidur. Tubuh dan pikiranku terlalu lelah. Saat bangun, para pelayat telah meninggalkan rumah kami. Di depan rumah, tinggal saudara-saudara ibu dan bapak yang masih mengoceh. Sayup-sayup terdengar ocehan mereka, hingga masuk ke telingaku.
“Kasihan Said. Sekarang, dia bakal tinggal sendirian di rumahnya.”
“Kenapa enggak kamu tumpang saja?”
“Saya, kan, punya beberapa anak. Ngurus beberapa anak saja ruwet, masa mau nambah anggota lagi.”
“Saya juga enggak bisa. Tahu sendiri, kan, saya sering ke luar kota.”
“Terus, kuliah Said bagaimana?”