Hidup Mati

Justang Zealotous
Chapter #4

Kenangan

AKU mengenal perempuan itu dari foto yang ditunjukkan Om Rusdi. Ia mengaku kenal dengan bapaknya karena pernah kerja bareng di luar kota. Om Rusdi iseng menunjukkan foto itu jikalau seandainya aku tertarik, ia akan coba bicara dengan bapaknya, siapa tahu kami ditakdirkan berjodoh. Namun saat itu, aku bermasa bodoh menanggapinya.

Barulah ketika aku melihat wajah perempuan itu dengan mataku sendiri, saat ia sedang berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum, aku merasa bahwa Tuhan memang menyiapkan waktu yang tepat untuk kami berdua. Kupandangi wajah yang bersemu itu dengan senyuman yang manis sekali, jilbabnya tersampir ke pundak, dan kakinya yang jenjang. Aku ingin mendekat, aku ingin mengobrol dengannya, tetapi tidak, aku ternyata tidak punya nyali sebesar itu. Ia sudah ditelan angkutan umum, dan aku masih berdiri di tempatku. Esok, lusa, dan hari selanjutnya, nyaliku masih saja sebatas memandanginya.

Di sela kuliah, aku mencoba mencari informasi tentangnya dari sesama mahasiswa. Ia rupanya dari fakultas ekonomi dan bisnis. Aku senang karena jarak fakultas kami tak terlalu jauh sehingga aku punya banyak waktu untuk ke sana, berjalan-jalan, dan memandanginya. Ditambah lagi, di sekitar fakultas kami terdapat masjid. Ia sering mampir di sana untuk salat duhur ataupun ashar. Untuk yang satu ini, aku mungkin akan memohon ampun pada Tuhan, karena salatku tidak sepenuhnya untuk Dia. Aku ke masjid untuk salat, tentu saja, tetapi alasan terbesarku ialah karena ia.

Suatu waktu, aku sedang duduk di taman baca kampus ketika kulihat perempuan itu bersama dengan temannya. Mereka mengobrolkan rencana ikut kajian pernikahan. Aku sempat kaget dengan rencana itu. Mengapa ia tertarik ikut kajian pernikahan? Aku menjadi waswas, takut ia sudah punya kekasih dan sedang merencanakan hal yang serius, meskipun selama memandanginya, aku tak pernah melihatnya dengan seorang laki-laki. Akhirnya, aku ikut kajian itu juga, sekaligus mengobati rasa penasaran yang telanjur menjalar.

Masjid telah penuh dengan mahasiswa-mahasiswi yang entah motif mereka untuk mengikuti kajian pernikahan itu. Di antara mereka, perempuan itu berdiri dengan gerak-gerik ragu-ragu. Dan untuk pertama kalinya, aku berdiri tepat di belakangnya. Ia ingin menaruh sandal, dan aku mengambil kesempatan itu, aku ikut menaruh sepatuku di sana. Aku ingin sandal dan sepatu kami bersebelahan. Ia terkejut melihat tanganku mengulur bersamaan dengan tangannya. Ia lalu menarik tangannya, dan aku mempersilakannya sambil tersenyum. Aku tidak tahu ia melihat senyuman itu atau tidak, karena setelah menaruh sandalnya, ia segera berpaling masuk. Namun tidak masalah, misiku membuat sandal dan sepatu kami bersebelahan berhasil.

Selama kajian, aku tidak fokus mendengarkan ustad mengoceh di atas mimbar. Aku justru fokus mengawasi wajah-wajah yang terlihat di antara tirai pembatas, berharap di antara wajah-wajah mahasiswi yang sempat berdiri di sebelah, ada wajah perempuan dengan senyuman yang manis itu, tetapi tidak, aku tidak menemukannya. Sebelum kajian selesai, perutku tiba-tiba bermasalah, dan aku terpaksa meninggalkan masjid tanpa memastikan perempuan itu masih di sana atau telah pergi juga.

Hari selanjutnya, aku masih seperti yang dulu, hanya berani memandanginya dari kejauhan. Sampai kemudian, aku lelah. Aku tidak bisa bersikap seperti ini terus. Tuhan memang menentukan takdir, tetapi manusia harus berusaha menggapainya. Jika aku masih mengurung diri, Tuhan mungkin akan mengirimkan laki-laki lain untuknya. Akhirnya, aku memberanikan diri. Aku menunggunya di depan masjid usai salat ashar. Namun, ia rupanya memiliki doa yang panjang. Aku mesti menunggu cukup lama dan itu membuatku kian gelisah. Aku pun melangkah bolak-balik, kiri ke kanan, depan ke belakang. Hingga ia kemudian keluar dan langsung bertanya, “Ada apa?” Aku linglung. Aku tidak siap dengan keadaan itu sehingga yang berikutnya keluar dari mulutku adalah hal yang paling bodoh: sandalku hilang.

Kalimat bodoh itu ternyata bekerja dengan sempurna untukku. Kami mengobrol banyak hal dan tertawa bersama—pertama kalinya—sampai tersisa hanya sandalku yang tergeletak di sana. Selama mengobrol, aku menunjukkan sisi terhebat dalam diriku, sebab bukankah perempuan selalu senang dengan laki-laki yang hebat. Aku mengatakan padanya kalau aku sering ikut kajian, padahal sebenarnya tidak, sebagai cara agar ia merasa bahwa aku cukup berilmu untuk diperhitungkan. Lebih dari itu, aku sangat senang bisa membantu memperbaiki HP-nya yang sedikit bermasalah. Itu menambah poin atas diriku. Laki-laki yang layak adalah laki-laki yang mampu menyelesaikan masalah. Akhir dari obrolan itu, aku mendapatkan nomor HP-nya.

Sepanjang malam, aku berkutat dengan nomor HP yang sekarang tersimpan di kontakku. Aku ingin meneleponnya, atau paling tidak mengirimkannya SMS. Namun, aku kembali menjadi laki-laki tanpa nyali yang besar. Meskipun begitu, hari-hari setelahnya, aku tidak lagi hanya sekadar memandanginya, tetapi kini aku bisa mengobrol dengannya, mendengar ia tertawa sampai memenuhi relung hatiku. Di masjid, di kantin kampus, atau pun di tepi jalan sambil menunggu angkutan umum.

 

PADA malam di bulan Desember, aku termenung seraya memandangi langit-langit kamar. Wajah perempuan dengan senyum manisnya itu mendadak memenuhi ingatan. Aku membalikkan badan. Kuraih HP yang sedang kuberi daya. Kucabut dayanya, lalu menelepon. Ini merupakan hal yang baru bagiku, dan aku masih butuh penyesuaian diri, membuat suaraku memelan di kali pertama.

“Aku menyukaimu.” Aku mengatakannya tanpa ragu-ragu. Partikel-partikel kecil yang telah tumbuh di hatiku merekah, membuat keberanian itu ikut meluap sepenuhnya. Aku tidak berharap banyak setelah mengatakan itu. Hal paling penting ialah aku telah menyampaikan semua yang tertanam lama. Namun rupanya, ia mengatakan hal yang sama. Aku senang sekali. Mimpi-mimpi burukku yang datang seminggu ini telah dikalahkan oleh kebahagiaan hari itu.

Hanya saja, detik setelah panggilan telepon itu terputus, aku merasakan perasaan yang aneh. Belum pernah aku merasa seperti ini. Aku gelisah. Jantungku berdebar tak karuan. Aku sampai tak bisa tidur dengan lelap malam itu. Setiap kali mata terpejam, napasku sesak menyiksa. Aku sudah membaca semua ayat-ayat yang kutahu, tetapi sama saja, aku masih diliputi perasaan cemas dan takut. Sampai besok paginya, perasaan yang sama tetap saja menyerang. Aku mengambil wudu, salat subuh, lalu berdoa. Aku minta pada Tuhan atas kebaikan-kebaikan.

Setelah mandi, sarapan, hingga pamit pada ibu dan bapakku, aku masih risau. Mungkinkah aku telah melakukan dosa? Sebab hanya pendosa yang ditanamkan perasaan gelisah sepanjang hidupnya. Tuhan memang melarang manusia mendekati perbuatan zina, tetapi aku tidak pernah melakukannya, kecuali kalau Tuhan menganggap hal yang kulakukan sudah termasuk zina.

Lihat selengkapnya