LAKI-LAKI itu pergi dengan luka sayatan di hatinya. Ibu yang telah menyayat hati laki-laki yang dalam dua tahun ini hidup dalam penantian-penantian. Aku menantinya datang, tetapi membiarkannya pergi. Aku tak punya kuasa mencegah Ibu menghancurkan semua penantianku dipinang oleh laki-laki itu dengan kalimatnya yang buas. Tulang-tulangku terkunci sesaat kata-kata itu menghunjam hatinya.
“Maafkan aku…” aku mengejarnya, ia enggan berbalik, ia terus berjalan menembus malam yang semakin gelap, “Said! Aku mohon, maafkan aku!”
Ia pergi, dan aku enggak tahu ia akan kembali atau tidak, seperti dulu.
Beberapa jam setelah ia pergi, aku berusaha menghubunginya. Aku meneleponnya berkali-kali, dan juga mengirimkan pesan singkat beruntun. Nihil. Ia menghilang. Suaranya, kalimat-kalimatnya yang menenangkan habis bersisa air mata yang ia tinggalkan. Aku juga enggak bisa menyalahkan keputusannya, sebab hati siapa yang tak terluka jika mendengar kalimat ibu tadi. Ia datang dengan membawa harapan besar, tetapi ibu malah menumpahkan semua harapan itu. Namun, aku enggak bisa seperti ini, aku enggak bisa ditinggalkan sekian kalinya.
Besoknya, aku mendatangi toko servis miliknya—pagi sekali—mengadukan semua persoalan kemarin. Ia belum bangun saat aku datang. Aku kembali menunggu, seperti yang telah lalu. Aku berdiri, sesekali menjongkok, sesekali berjalan ke kiri dan ke kanan, kemudian kembali mematung. Mataku melayang ke arah papan besar berwarna cokelat yang terpajang di atas pintu: SERVIS APA SAJA. Aku mendesah, berat.
Hampir setengah jam, ia akhirnya membuka pintu. Ia terlihat lesu dan pucat, matanya bengkak. “Dengarkan aku sebentar,” aku memohon, ia tak banyak bergerak selain berdiri dengan sorotan mata yang lemah, “aku benar-benar minta maaf atas kejadian kemarin. Aku juga enggak nyangka ibu akan berkata demikian.” Suaraku tertelan. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Sementara ia bergerak lunglai, hendak kembali masuk.
“SAID.” Air mataku tumpah. “Bukannya kamu bilang enggak akan meninggalkanku lagi? Bukannya kamu bilang akan terus meneleponku, atau paling enggak mengirimkanku pesan singkat? Bukannya kamu… kamu sudah janji?”
“Tapi, ibumu?”
“Kamu menyerah begitu saja?”
“Tapi…”
“Kamu memang egois, Said. Ini bukan sekali kamu meninggalkan aku, dan bukan sekali pula aku menunggumu. Kalau memang kamu mau pergi, kenapa harus kembali? Aku hanya butuh kita bersama, enggak lebih.” Mataku basah. Tubuhku bergetar.
“Aku sayang sama kamu.” Suara yang mengalun pelan itu terdengar. “Aku tidak akan pergi. Aku janji.”
LAKI-LAKI itu kembali. Ia datang ke rumahku lagi dengan perasaan sakit hati yang telah ia buang. Ia mencoba berdamai dengan rasa kecewa itu, dan mengubahnya menjadi senyum yang tak pernah berhenti mengembang. Laki-laki itu pun bukan bermaksud datang untuk melamar, tetapi hanya untuk mengikat hubungan yang merenggang. Ia datang membawa makanan, lalu mengobrol dengan Ibu dan Bapak.
Sebetulnya, selama laki-laki itu datang, ia lebih banyak mengobrol dengan Bapak. Beruntung Bapak senang dengannya. Mereka bisa menghabiskan banyak jam dan kopi untuk mengobrolkan apa saja. Tentang rencana pemerintah memindahkan ibukota negara, tentang jalan rusak yang masih saja belum menyentuh hati orang-orang atas, tentang berita-berita lokal yang memusingkan kepala, atau bahkan tentang Om Rusdi, paman laki-laki itu. Keduanya akan semakin antuasias apabila topik pembahasan berpindah pada masalah-masalah elektronik di rumah.
Mungkin, Ibu masih belum bisa menyambutnya dengan baik, meskipun laki-laki itu berusaha berkali-kali membuka obrolan-obrolan dengannya, tetapi seperti kata pepatah, batu yang ditimpa air terus menerus akan mengikis juga. Ibu, walaupun ia seperti mendirikan tembok besar di hadapannya, ia sering terlihat memasang kuping. Semoga saja ia akan luluh juga.
* Kamu kapan datang lagi ke rumah? Bapak nanyain.
* Sabar, ya, aku pun berharap bisa ke sana lebih cepat.
* Iya, enggak apa-apa. Enggak perlu dipaksain juga. Sesempatnya saja.
* Siap. Kamu doain aku ya biar kerjaanku cepat kelar. Aku juga tidak sabar ngobrol sama bapakmu. Bapakmu asyik.
* Bapak juga senang ngobrol sama kamu, Id. Selama ini setiap laki-laki yang coba kukenalkan dengan Bapak. Baru sama kamu bapak betah ngobrol lama-lama. Biasanya, bapak lebih dulu angkat pantat.
* Alhamdulillah…
* Sudah dapat restu, ya…
* Hahaha.
* Kalau sama Ibu, kamu enggak usah pikirin berat-berat, ya. Insya Allah, Ibu sebenarnya diam-diam sudah suka juga kok sama kamu. Mungkin masih tengsin buat ngakuin.