Mamak, Bapak. Sampai saat ini, aku ternyata masih butuh bimbingan beserta peluk hangatmu, sebagaimana dulu di kala kaki mungilku mulai belajar berjalan di atas lantai papan rumah panggung kita.
Aku rindu senyuman bulat Mamak yang khas. Kala itu Mamak dan Bapak pasti sungguhlah teramat bahagia melihatku mulai belajar berdiri sendiri, melangkah patah-patah berjalan ke arahmu setelah Bapak melepaskan kedua tanganku dan bersorak-sorai menyemangati, agar langkahku tetap kokoh menuju tiang tengah rumah, di mana Mamak sudah menunggu di sana dengan senyum bulat penuh bahagia, sembari mengulurkan kedua tangan Mamak, pertanda juga menyemangatiku sebagaimana Bapak saat melepasku dan mulai melangkah sendiri.
Pertunjukan itu masih sangat basah dalam ingatanku. Bahkan sekarang, aku sudah berumur dua puluh tiga tahun, tapi sungguh, kejadian di rumah panggung dulu masih sangat membekas di kepala. Bahkan, itu tidak akan pernah bisa kulupakan. Momen di mana langkahku masih patah-patah, karena persendihan dan otot lututku memang belum begitu kuat. Tapi bukan itu yang akan kuingat selamanya, melainkan di mana tangan Mamak tinggal sejengkal dari tanganku yang juga kuulurkan, agar cepat diraih olehmu dan berkata, inilah anak gadis mungilku. Tapi sayang, sebelum kedua tangan Mamak meraih kedua tanganku, lututku sudah duluan terhempas menghantam potongan tiang di ruang tamu. Aku menjerit kesakitan. Tapi aku melihat Mamak begitu gesit meraihku, bahkan mendahului air bening yang sudah menggenang panas di balik kelopak mataku.
Bila kuingat-ingat kembali momen yang Mamak ceritakan itu, aku selalu terenyuh mengenangnya. Aku sangat ingin mengingat sepotong kejadian itu dengan sempurna, tapi di kepalaku semuanya tetap saja samar-samar.