Satu bulan sebelum target tercapai. Bagian-1
Setelah seluruh tenaga kukerahkan, pikiran kuperas habis, langkah kaki yang terkadang berulang kali harus kurayu agar tetap mau melangkah ke sana ke mari menemui dosen pembimbing dan birokrat fakultas, demi kepentingan agar target dapat tercapai. “Tiga tahun delapan bulan” harus bisa. Kalimat itulah yang paling sering meluncur di birai bibirku, di saat kaki mulai kalah dengan penat, terik, dan juga peluh mengguyur seluruh tubuh.
Mengejar-ngejar dosen demi revisi dan bimbingan skripsi, sungguh teramat sulit bagi mahasiswi sepertiku yang tak punya kendaraan pribadi. Sementara jarak antara indekos dan kampus Universitas Islam Negeri Makassar (UINAM), tempat aku menimba ilmu selama tiga tahun lebih ini, sungguh jarak yang bukan kepalang. Aku tinggal di jalan ujung tepat pertemuan antara jalan AP. Pettarani dan Sultan Alauddin. Sementara kampusku berada di Samata, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Agar bisa sampai di kampus, aku harus menaiki mobil angkot (angkot) ke jalan Hertasning. Di Kota Makassar, angkot ini dikenal dengan sebutan pete’-pete’. Beruntung jika mobil pete’-pete’ itu searah dengan tujuanku. Aku harus duduk di atas kursi penumpang dengan penuh sabar, sambil menunggu pete’-pete’ itu merayap di jalan raya Hertasning, sejauh dua belas kilo meter.
Untunglah, sepanjang jalan Hertasning ini, jika diperhatikan dengan baik, dan anda pun pernah masuk ke hutan, walau itu hanya sekali saja. Maka anda akan merasa sedang berada di tengah lembah menuju hutan belantara yang sangat asri, ditingkahi dengan berbagai macam kicauan burung yang sedang berkejaran. Pindah dari dahan satu ke dahan lain. Dari ranting satu ke ranting lain di pepohonan itu.
Lengkap pula dengan tarian nyiur dipermainkan angin di pinggir kanal. Astaga. Ini lebih mirip, seperti hutan di tengah kota metropolitan dan mestinya masuk dalam salah satu tujuh keajaiban dunia—ini mungkin terdengar ngawur. Tapi itulah kenyataannya—atau seperti hutan lindung yang berada di kawasan kampus Universitas Hasanuddin. Inilah satu-satunya alasan, mengapa aku tetap bertahan melawan rasa gerah dan terus berada di atas pete’-pete’ ini.
Sayangnya. Beberapa tahun lagi ke depan. Hutan ini akan bernasib sama dengan wilayah-wilayah yang telah ditanami berbagai macam bibit beton, yang akan tumbuh menjadi gedung-gedung pencakar langit berbagai rupa. Meski tetap saja. satu dua pokok rindang di sepanjang jalan, tetap saja setia berdiri di sana. Kemudian, pedagang kaki lima akan berebutan lokasi di bawahnya dengan alasan, di sini tempatnya sejuk dan menenangkan.
Suara cempreng mesin yang keluar lewat cerobong asap pete’-pete’ ini, sekarang sudah hilang belaka. Padahal, kemarin-kemarin di saat menumpangi pete’-pete’ ini, suaranya sungguh sangat mengganggu pendengaran. Sebab, setiap kali pedal gasnya diinjak oleh sopir bongsor berdaun telinga lebar ini, maka isi telinga rasanya ingin minggat semuanya.
“Kenapa knalpot mobilnya diganti pak?” tanyaku pada Pak Sopir. Karena keseringan menumpang di angkot ini, kami jadi akrab.
“Aku dapat wangsit beberapa malam lalu dik.”