Satu bulan sebelum target tercapai. Bagian-2
Mobil yang kutumpangi sudah sampai di bundaran Hertasning. Itu artinya seluruh penumpang sudah keluar dari wilayah kota Makassar. Meski kampus kami bernama Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, atau disingkat UINAM. Tapi letak kampus tempatku menimba ilmu berada di Kabupaten Gowa. Kabupaten yang penuh dengan sejarah heroik semasa penjajahan di Nusantara dahulu.
Dari bundaran Hertasning aku harus berjalan sejauh kurang lebih tiga ratus meter untuk sampai ke dalam kampus. “Hari ini, semua urusan harus selesai. Jika tidak, maka aku akan gagal menyelesaikan studi tiga tahun delapan bulan.” Ujarku menguatkan langkah.
Bola langit mulai meninggi dari sisi timur. Kupercepat langkahku berharap agar dosen killer itu belum sampai di kampus. Hari ini, seluruh berkas sudah kusiapkan. Seluruh coretan yang pernah dibuatnya di atas kertas skripsiku kini sudah kubenahi. Semoga hari ini tak ada lagi corat-coret yang menyebalkan bertengger di lembaran skripsi ini.
Masih pukul sembilan pagi, tapi debu-debu sudah sibuk beterbangan mengambang di udara membentuk polusi. Maka wajarlah jika mahasiswi konvensional di kampus ini masih sering terganggu oleh benjolan merah di wajah. Setelahnya, teman-teman sekelas akan berkomentar miring. “Hayo, kau sedang merindukan siapa?”
Terus terang saja, tuduhan-tuduhan norak semacam itu sungguh teramat mengganggu bagi mahasiswi tingkat akhir sepertiku. Ingin sekali mulut ini berteriak, kalau itu hanya sekadar jerawat yang tumbuh karena polusi di luar sana teramat kejam. Lagian, mana ada kesempatan untukku memikirkan soal rindu-rinduan di tengah ketegangan mahadewa, menghadapi dosen killer satu-satunya yang mungkin saja akan menghambat mimpiku—lulus dalam waktu tiga tahun delapan bulan.
***