Dan lagi. Sosok itu hadir menjamah diri. Tersangka dibalik huru hara yang sukses memporak-porandakan damai hati. Hadirnya menelisik ke ujung nadir seraya menggenapi. Bak rumput liar tak tahu diri.
Takdir? Entah. Terlalu remeh dianggap 'mungkin' karena ia berhasil meredupkan nyaringnya tong kosong ini. Dan, terlalu pelik mengharfiahkan itu sebagai sesuatu yang 'kuterima' karena hati selalu mengelak lagi.
Aku, substansi jiwa ...
*Yang mengorbitkan kaki di bumi tanpa kenal siapa penciptanya.
*Yang senang membenamkan raga di lembah palung tak bercahaya.
*Yang tak tahu, bagaimana harap dapat terwujud karena doa
*Yang berasas jika ruh tanggal dari raga, ia mati selamanya.
*Yang hidup tanpa spiritual diri dianggapnya tak apa-apa
Dan ...
*Yang metunaskan konspirasi rasa sebagai tanaman pengikat, membabi buta jiwa
Selamat datang dalam lakon hidup seorang gadis tak beragama.
{}{}{}
Dear Diary
Jumat, 10 Juli 2015
Aku, Kara. Gadis berdarah blasteran Indo-Australia yang saat ini tinggal di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Daddy keturunan pribumi di kota ini, sedang Mommy adalah manusia endemik dari tanah kanguru. Meski seorang blasteran, sepertinya lebih dari separuh DNA Daddy tersemat di wajah aku. Jadilah wajah ini ala-ala makhluk pribumi gitu.
Negara Australia menjadi magnet yang metautkan cinta keduanya. Kisah mereka bermula saat Mommy secara tak sengaja menemukan sebuah paspor warga negara asing asal Indonesia disebuah kafetaria.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia menjadi kail kedua kala Mommy datang bersama paspor yang ditemukannya. Tempat itu sekaligus menjadi titik 0 km yang mempertemukan mereka.
Tanggung jawab Mommy sebagai presiden direktur perusahaan manufaktur dan Daddy sebagai CEO sebuah perusahaan multinasional, menjadi samudra lain yang memisahkan jalinan asmara keduanya. Mengabdi di negara masing-masing adalah pilihan Daddy dan Mommy kala itu.
Setelah 8 tahun menikah, Mommy akhirnya mendeklarasikan diri sebagai warga negara Indonesia. Keinginan menjamurkan bisnis manufakturnya di Kabupaten Padang Pariaman, menjadi alasan dibalik hijrahnya ia.
Sebelum memutuskan ikut berhijrah, awalnya aku pun manusia endemik dari tanah kanguru sana dan selama 7 tahun tinggal bersama Mommy di negara dengan gedung Sydney Opera House-nya itu. Riskan juga sih bagi orang yang baru lepas masa balita untuk jauh dari ibunya.
Dulu waktu masih tinggal di Australia, aku bertemu Daddy hanya sesekali, mungkin setahun tak sampai hitungan jari.
Kupikir dengan bersatunya kami segala hal bisa kita lakukan bersama, maraton nonton film, piknik depan rumah, makan di satu meja, misalnya. Fyuuuhhhh, raga kami saat ini dekat. Namun, terasa tetap berjarak.
Saban hari, Daddy dan Mommy hanya menjadi budaknya uang. Terlebih Mommy, semakin sibuk setelah cabang perusahaan manufakturnya sukses besar di Indonesia. Bak mesin gramofon1 terbengkalai. Ya, begitulah substansi diriku yang sekadar jadi manik-manik di keluarga ini.