7 tahun yang lalu.
Minangkabau International Airport, 14 Maret 2008
'Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also, make sure your seat belt is securely fastened and—'
Seorang pramugari bertaklimat di balik mikrofon kabin saat menginformasikan bahwa pesawat sebentar lagi akan bermanuver landing.
Sesulur sabuk pengaman aku kencangkan mengikuti instruksi, seraya lekas duduk berjingkrak mengalihkan pandang ke kaca kabin. Aku lihat sayap besi itu tengah menyibak buntelan kapas putih di langit yang ronanya sedikit meng-abu.
"No, Baby. Sit up properly. Okay!" omel sosok wanita dengan bingkai kacamata hitam tersanggah di batang hidungnya. Ia menegur tingkah tengilku yang duduk bersanding di kursi kabin.
Sebongkah bola manis dengan gagang putih di mulut, kutarik penuh sahut. Pppoo ... letupan suara lolipop menderu. Aku menjelingkan pandangan seraya mendongak ke arah wanita dengan setelan pantsuit berwarna hitam bercampur semburat abu-abu kecoklatan itu.
"Mommy, where are we going to live now?" tanyaku padanya.
Balasan tatap digulirkan Mommy. Kini, kacamata hitam itu di alih tempatkan hingga menjadi bando di kepalanya.
"Padang, Indonesia. At your Daddy's house." jawab Mommy.
"Really? Are we going to live together?"
"Yes, Baby. Are you happy?"
"Of course, Mommy. Very, very, very, very happy." Dieluslah dagu anak semata wayangnya ini.
Girang jiwaku terpendar, saat aku lanjut menyibukkan diri menatap rentangan sayap besi yang tersuguh di balik kaca kabin. Di atas awang-awang ini, seolah wahana bermain bertunas dalam diri. Ah, bahagianya. Sebuah momen yang selama ini hanya terpatri di sealas kertas bergambar dengan manik krayonnya akan jadi momen nyata.
(Sumber Gambar: Pinterest)
{}{}{}
Usai bertolak dari bandara, aku terduduk di atas dua pasang roda mobil yang sedang menggeru di jalanan beraspal, mehijrahkan ragaku yang entah berpangkal di tempat mana. Sepanjang lalu lalang perjalanan, aku posisikan wajah tepat tersanggah di bibir jendela mobil ini, menikmati semilir udara yang datang menggilasi pori.
Selang waktu 1 jam lebih, dua pasang roda mobil yang aku tumpangi terhenti depan sebuah pagar rumah megah berloteng dua. Sosok lelaki dengan perawakan besar berotot dan brewok tipis di sekujur dagu, tersender menjadi pawang di pagar itu.
"Daaaaaaddy ...."
Ya, sosok itu membuatku lekas turun dari mobil seraya berlari, menghamburkan tubuh mungil ini, memeluk lelaki yang aku jeriti.
"Sorry, Sayang. Aku tak bisa jemput ke bandara. I worked on the assignment all day long," jelas Daddy pada Mommy yang mendekat kemudian.
"Tak apa-apa, Sayang. Aku ... emh ... I really underatand." Seuprit bahasa Indonesia bisa dijajahinya. "You must, emh ..." omongnya lagi terselip, "buzy, dengan pekerjaan di kantor," lanjut Mommy dengan logat kebule-bulean dan bahasa campursarinya.
Allaahu akbar, Allaahu akbar
Allaahu akbar, Allaahu akbar
Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu allaa illaaha illallaah
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah—
Sebuah gema yang entah berpusat di kaki langit mana, melengking terulang di hari yang senjanya mulai menjelang.
Masih dalam pangkuan Daddy,
"Daddy, what sound is that?" tanyaku penuh selidik.
"Ekhmmm ...." dehamnya sembari tersenyum garing, menjadi jawab dari tanyaku. "Ayo, ayo. Let's get in the house." Pengalihan isu yang jitu.
Acuhnya Daddy pada gema yang berkumandang, membuat aku berpikir mungkin itu hanyalah sebuah syair yang menjadi budaya masyarakat sini. Namun, hal aneh terasa kala gema dari syair itu ternyata tak hanya berdenging di satu waktu.