HIDUP TANPA TUHAN

Tanilshah
Chapter #4

Déjà Vu #3

Senin, 13 Juli 2015



"Hidup itu seperti pagelaran wayang, dimana kamu menjadi dalang atas naskah semesta yang dituliskan oleh Tuhanmu. Itu salah satu tulisan karya Sujiwo Tejo. Kamu pernah dengar?"



Celoteh seseorang tengah memenuhi seluruh sudut ruang otak ini. Depan sebuah kaca balkon kamar yang tengah digerimisi oleh air hujan, termenung aku oleh kata-katanya.

Nahkah Tuhan. Apa benar? Aku dalangnya? Apa kebualanku di hari ini juga bagian dari naskah semesta? Bukan rencana. Sungguh. Aku tak pernah merencanakan kebualan ini sama sekali. Lantas, apakah aku harus terpenjara seumur hidup dalam bualanku sendiri. Jika bisa, ingin kuhapus bagian ini dari naskah semestaku.

Hei, makhluk berlendir! Gerutuku melengking pada sosok makhluk tak berdosa yang tengah menangringkan diri di sebatang pohon.

Kroook ... kroook ... kroook ...

Iissshhhhhh. Kini, bukan lagi diari, tapi katak hijau itu. Dialah karib ceritaku.

Helai napas penuh kegamangan terhembus kemudian, meninggalkan jejak uap yang menempel dalam bilik kaca. 

Apakah seperti ini naskah semestaku akan bermula? Pungkasku menutup tutur di senja hari itu.

{}{}{}

10 jam yang lalu.

SELAMAT DATANG PESERTA DIDIK BARU SMAN 11 BUKITURA TAHUN PELAJARAN 2015/2016

Sehelai spanduk dengan ukiran kalimat penyambutan, terpancang disebuah gerbang sekolah. Aku adalah bagian di antara ratusan makhluk lain yang diberi kata sambutan itu. "Siswa SMA" begitulah gelar yang kini tersemat dalam diri. Sebuah surga kebebasan pertama, setelah 9 tahun lamanya hanya menjadi siswa homeschooling

Celupan siswa dengan latar belakang suku, agama, budaya dan ekonomi, kompak memakai seragam serupa. Menjejali diri dengan ilmu disebuah sekolah dengan jargon terkenalnya, 'Sekolah Damai dan Toleran'.

Jenjang-jenjang kaki manusia kulihat memenuhi sebuah trotoar jalan. Dan, semua-muanya melangkah ke titik yang sama, yakni gerbang masuk sekolah. Tak terkecuali aku pula.

Seiring langkahku yang mengelok di atas sepatu kets hitam, kuhirup sejuknya udara pagi dari rindangan pepohonan yang berdiri berjenjang sepanjang trotoar jalan. Aroma sedap gurih membaur menelisik bulu hidung. Bebauan itu berasal dari semangkuk bubur sop di pinggir jalan raya yang tak begitu padat oleh lalu lalang kendaraan.

Tak lama saat langkahku sampai di tujuan, kudongakkan wajah kesebuah gapura yang mengatapi gerbangnya. SMAN 11 Bukitura, begitulah tulisan terukir pada gapura yang aku pandangi saat ini.

Okey, Ra. Mari kita mulai awal yang ba—

Kalimat batin yang baru seperdua aku ucap, terpotong oleh gubrakan obrolan tiga orang lelaki. Terlihat dari jelingnya pupil cokelatku ke sebelah kanan, ketiganya tersamar tengah berjalan ke arah aku berdiri saat ini. Akhirnya, kusudutkan kepala mengikuti arah jeling mata.

Lihat selengkapnya