Senin, 18 Januari 2016
"Bung, lihat. Dia lagi, dia lagi," cakap sesosok makhluk yang tengah mengepak di angkasa.
"Cih. Dasar manusia, punya hidup kok bersendu melulu," gerutu makhluk serupa dari sisi barat daya.
"Bosan kali aku. Apa harus, saban hari, semburat sendu itu lagi yang kita pandangi pagi-pagi begini," timbrung makhluk serupa lain.
"Mungkin, lain kali kita harus ganti jalur penerbangan!" Anjur si Anu kepada tiga rekannya.
"Setuju!" gerung ketiga makhluk serupa. Kompak.
{}{}{}
Lewat hamparan padang cermin sebuah sungai, kutatap langit yang tengah menjingga di ujung timur sana. Kemilau fajar yang terpantul berayun-ayun, terbawa efek domino dari sebuah sekaan angin yang menggoyangkan permukaan airnya.
Pekikan suara terdengar menggerung di pucuk angkasa sana.
Aku berdeham. "Sepertinya aku jadi objek gosipan burung-burung itu lagi," terkaku dengan wajah yang menatap mesra langit.
Byuurrr ...
Sekaan air sungai membuat bola mataku jatuh seketika. Tanpa bisa melengkingkan suara, berpasang-pasang mata yang mengintip dari balik air memberi sinyalnya. Makhluk berinsang itu hilang timbul dikegelapan sungai yang tak kasat dasarnya. Senyumku mengembang. Rupanya ada yang menantikan aku sedari tadi.
Sebelum mengakhiri ritual pagi yang meresahkan burung-burung di angkasa sana, kurebahkan tas punggung di atas batu yang aku duduki. Sekotak nasi berwujud tokoh animasi robot kucing dari Jepang, aku keluarkan kemudian.
"Kali ini bekalku tak seberapa, tapi semoga cukup untuk kita bersama," kataku.
Tepat 30 menit sebelum tubuh mungil ini menjelma jadi kodok betina yang nangkring di atas batu, aku memilah-milah buku yang tersusun di rak.
Buku cetak biologi, fisika, pendidikan kewarganegaraan, sejarah, prakarya, empat buku tulis, disusul tepak pensil bercantelkan gantungan Putri Poppy —tokoh animasi dalam film Trolls— aku susupkan ke tas. Lekas aku turun dari rumah berloteng dua ini. Meja makan tujuanku.
Manik-manik kudapan pagi sudah menangkring di atas meja makan beralas kaca. Amat menggiurkan. Si Bibi yang masak.
Jangka sorong bernyawa yang nebeng di dinding menunjukkan pukul 06.00 WIB. Masih cukup waktu untuk sarapan di rumah. Namun, meja makan dengan empat kursi kosong itu membuatku selalu tak napsu.
Berwadahkan kepala karakter robot kucing ini, kumasukan sejumput nasi di wadah paling besar, telur dadar gulung di wadah kecil, bertetanggaan dengan sayur capcay. Seekor ikan goreng kucomot kemudian. Eh. Namun, tak jadi. Lekas aku taruh ikan itu ke pusarannya di atas piring.
{}{}{}
Penuh khidmat, kububuhi kantung kacang di tubuh ini dengan lauk yang aku bawa tadi. Moncong-moncong dalam air itu menyembul satu-satu, saat kutabur setengah porsi nasi bersama sayur capcay tanpa telur dadar gulungnya.
Rasanya makan bersama ikan-ikan sungai ini jauh lebih nikmat aku rasa, dibanding duduk sendiri di meja makan berhadapkan pusaran ikan atau ayam goreng krispi yang aku santap.
"Karaaaa ...!" seru seseorang menggetarkan gendang telingaku kemudian. Terangsanglah aku menoleh ke belakang.
Bocah jamur itu. Lambaian tangan tertangkap di ujung pandang. Segera aku sumputkan kepala robot kucing ini masuk ke tempat asal, padahal dua-tiga suap lagi pun habis.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya dengan gelombang suara yang terasa dekat.
Aku mendelik lagi. Raga manusia itu hilang dari tempat peraduannya.
"Bawah sini, Ra!"
Bola mataku beredar ke sekitar dan menemukan manusia dengan rambut konyolnya itu sudah menjuruskan tangan ke langit. Dengan kemahfuman dirinya pada jenjang kaki yang bagai atlet basket terpotek ini, ia membantu aku turun dari pucuk batu serupa rumah Patrick itu.
"Sudah lama menunggu?" tanya serupa menyeruak dari sebuah kalimat yang belum sempat aku jawab.