HIDUP TANPA TUHAN

Tanilshah
Chapter #7

Konspirasi Labirin #6

Adalah Oji, manusia berambut jamur yang saat ini tengah mendadah dadahiku disela nama yang terpekik dari mulutnya.

"Karaaa ...!" pekik Oji dari puncak tanjakan ini.

Dia adalah makhluk bumi pertama yang membuat aku selalu ingin membunuh pemikiranku sendiri.

{}{}{}

Aku merasa hidupku seempuk bulu domba hingga tak ingin bangkit dari keternyamanan ini. Napasku mengalir bagai air dalam jeram, tak peduli banting batu sana, batu sini, leok ke sana, leok ke sini, pokoknya yang penting hidupku mengalir bagai air. Ya, meski sadar mengalirnya aku bukanlah di arus yang tenang, setidaknya hidupku terus berkecambah.

Jeramnya sebuah belenggu keluarga memang terkadang menjadi halang rintang yang selalu membuat si korban pasrah terbawa arus dari hulu ke hilir. Tak ada ruang untuknya menyisi, tetapi jeram ini yang justru membuat aku terebah di dunia spiritualitas tanpa batas. Mengalir tak kenal rintang.

Berbicara soal spiritualitas, aku ragu untuk mengkonsepkan diriku seperti apa.

Tuhan. Sebuah subjek tak kasat pandang. Namun, kasat dalam benak diri. Dekatnya lebih dari nadi. Pernah aku mendengar kata itu, tapi kenapa benakku terasa bagai tong kosong, ya?

Lain sisi, aku rasa tong ini justru membuat diri seperti si penguasanya landasan pacu, bebas mengudara dan mengorbitkan jiwa kapan dan di manapun. Sebuah kebebasan spiritualitas yang membuat aku tak perlu mengurusi kewajiban di dunia. Pun, tak perlu pusing memikirkan dosa akan dibawa kemana. 

Surga? Neraka? Penerkaan diri, itu hanyalah sebuah batas asumsi. Menurut aku saat nyawa tanggal dari raganya, ya, sudah, ia mati. Dalam asas hidupku ini, tak ada alam kebangkitan apalagi reinkarnasi di dunia.

Katanya orang tak beragama akan masuk neraka. Aku bingung. Jika aku bukanlah bagian dari kepercayaan manapun, dengan alasan yang sama aku tak mungkin masuk neraka Tuhan manapun.

Adalah Oji, seorang bocah yang pernah hadir delapan tahun lalu. Banyak sedikitnya ia telah menyadarkan aku bagaimana tersesatnya diri akibat pemikiran konspirasiku itu.

Lekukan otak dalam tubuh aku persis seperti labirin panjang dan aku tersesat di dalamnya. Sebuah pemikiran kritis yang justru membuatku selalu menemukan kebuntuan jalan.

Apakah aku harus bersyukur, berkat manusia ini, aku mulai memikirkan bagaimana harus mengisi kolom agama dalam KTP aku nanti. Namun, diriku terlalu bebal. Pun, setelah sadar bagaimana eksremnya konspirasi hidupku ini, nyatanya aku memilih tetap meringkukan diri dalam labirin itu. 

{}{}{}

"Raaa ...!" sapa seseorang membelah kerumunan euforia pemikiranku saat meniti tanjakan ini. Aku tak sadar jengkal kaki ternyata sudah menapak di pucuk tanjakan.

Sebuah tempat yang tanahnya berpayungkan pohon jati rimbun adalah bukit yang menjadi batas akhir dari tersengalnya kami tadi. Sebelah timur bukit ini tercerai oleh jurang dangkal dengan bebukitan lainnya. Jika kami duduk tepat mengarah ke jurang, fajar terbit menjadi kiasan pelupuk pandang. Di sinilah posisi paling pas menikmati sarapan pagi. 

Oji yang sudah duduk bersila di sudut kanan, mengeluarkan bungkusan daun pisang dari kresek hitam yang dijinjingnya. Disodorkanlah sepotong singkong rebus saat langkahku baru saja sampai di akhir tanjakan tadi.

Rogohan tangan kananku menyerobot, mengambil pada apa yang Oji beri. Namun, mataku tak sama sekali mendelik pada sogokannya. Tasnya itu loh, masih menjadi objek penasaran aku.

"Makan selagi hangat!" petuahnya yang segera menarik lengan kanan ini untuk lekas duduk dari berdirinya aku.

Kini, menangkringlah aku seperti dia.

Kok nikmat, yah, kataku dalam benak, saat sesuap singkong kugempur dengan geraham.

Rasanya lebih nikmat dari sarapanku tadi. Eh, sebuah rintik tiba-tiba ingin mengalir menuju lembah di jurang dangkal sana.

Lihat selengkapnya