Jika ada guru terbaik, tolong ajari aku menjadi sehelai permukaan talas yang pantang dilukai rintik.
"Oey. Oji! Kara!"
Dua buah kepala yang tengah berjalan disebuah trotoar arah gerbang sekolah, menyetopkan langkah dan merotasikan badan ke arah belakang.
Bujang 'tok'. Sang empunya suara yang memekik dari kejauhan. Bu-jang, tanpa embel-embel nama setelahnya, seorang lelaki bertubuh jangkung ceking kelahiran Bandung. Namun, asli titisan Minang. Kembalinya ia ke tanah nenek moyang sudah sekitar 7 bulan yang lalu, usai sang ayah pensiun sebagai pegawai ASN di kantor pemerintahan Kota Bandung.
"Tunggu aku!" pekik lain membumbung dari balik tubuh ceking si Bujang, membuat kepalaku dan kepala Oji melongok ke arah bersebrangan.
Si Bongsor dengan lari kecilnya —ekhm lari besar maksudnya— tengah merapat ke arah kami berdiri saat ini. Manusia itu bernama, Zhaoyang Liu Xingsheng, yang sering aku sapa Koko U-ceng. Seorang lelaki bertubuh gempal hasil impor 15 tahun lalu dari tanah Tionghoa.
"Zhao—yang Liu Xing—sheng?" Jejeran huruf dalam sebidang kertas absen kelas, menyisi rapat di antara batang hidung dan bilah kacamata yang terus dinaikkan karena kemelorotannya.
"Hadir, Pak!"
"Baa kau punyo namo payah bana untuak disabuik'an, [Kenapa kau punya nama sulit sekali untuk diucap] Zha'o! Berasa anak batita Bapak setiap kali mengabsen namamu ini," kata Pak Muis —guru matematika, sewaktu bercerita dengan logat dan bahasa kenegaraannya, bahwa ada anak IPS dari kelas X reguler yang setiap kali diabsen namanya harus dipenggal satu persatu.
Zhaoyang Liu Xingsheng. Sebuah nama yang hanya ada satu-satunya diklaster kelas X SMAN 11 Bukitura. Unik. Ya, tetapi lebih unik ketika sebuah nama terpola tanpa satu pun huruf hidup yang tersemat di dalamnya, seperti Bwmbwng, misalnya.
Krsskkk ... krsskkk ... Krsskkk ...
Bak lonceng tergelayut disebuah tas, bebunyian itu berasal dari kresek hitam yang dengan kepasrahnya terpontang panting di lengan si Uceng terbawa gubrakan langkah.
"Molah, ka kantin! [Ayo, ke kantin]" ajak Uceng sembari meraih lengan Oji dan Bujang yang ia susupkan di antara bilah lengan dan ketiaknya.
Langkahku mengekor tepat di belakang ketiga lelaki yang megamblangkan perbedaan bentuk badan itu. Ceking, bongsor dan ... pas.
Berkat jalur belakang, beberapa bulan terakhir ini aku cukup dekat dengan Bujang dan Uceng. Siapa lagi kalau bukan Oji, dialah yang menjadi karet pengikat hingga aku kini mempunyai tiga orang sahabat sekaligus.
"Kara! Ayok, capeklah! [cepatlah]" pekik Oji yang kini terlampau jauh.
Kuangkat regang jemari ke angkasa.
{}{}{}
Bahana kriuknya sepotong rakik maco —rempeyek renyah khas tanah Minang— menjelma laksana gelombang kejut yang menggempuri seantero kantin dengan tujuh kedainya itu.
Aku dan Bujang —yang duduk di bangku seberang— sedang memandangi lekat-lekat seonggok bubur sop di atas sendok bertoping suiran ayam, tengah meroket untuk berpapasan dengan keriuhan rakik maco di mulut si Uceng.
"Aaammmm. Mantep," seloroh Bujang. "Eh, Gembrot!" lanjutnya. Saat mulut Bujang mulai termangap hendak bertutur sesuatu,
"Uceng ... Bujang, U-ceng!" gertakku mengingatkan si Bujang untuk mengubah sapaan pada kebongsoran badan manusia yang tengah duduk di samping kananku dengan semangkuk bubur sopnya itu.
"Koko Uceng ...." ucap Bujang membelai. "Tiga minggu lagi teh hari raya Imlekkan?"
"Imlek?" beo Uceng setelah memerosokkan adonan dalam mulut menuju kerongkongannya.
Sebatang sendok teracung kemudian ke arah wajah si Bujang.
"Ah. Batua, batua [Betul, betul]. Ang hadirlah nanti di rumah aden [aku]," susul ucapnya.
"Kau juga, Ra. Ikutlah."
Dan, batang sendok dengan bekas lumatan mulutnya, kini tepat berada di bibir pandangku sendiri.
"Aku? Memangnya aku boleh ikut merayakan Imlek?" tanyaku seraya menangkis lembut serangan batang sendok itu.
"Bukan merayakan, Kara Mariaaaa," timbrung Oji yang tengah berjalan di muka punggung menuju kursi kantin —sebelah kanan Uceng. Diintipnya kemudian kresek hitam yang berisi rakik maco sembari terduduk.
"Hanya bantu-bantu," lanjut Oji, diiringi hembusan napas sepanjang gerbong kereta setelah menerima kenyataan bahwa kresek hitam itu tinggal berisi udara hampa.
"Kantin gratis!" bisik Bujang kemudian dengan sumputan bibirnya ke arah wajah ini.
Sudah kuduga. Itulah maksudnya.
Saat semua duduk berkumpul di satu meja kantin yang sama,
"Baa wa'ang pada [Kenapa kalian] tak ikut sarapan bersama aden?"
Tanpa ada balas respon, Oji dan Bujang minggat dari bilah kursi yang didudukinya. Mereka tahu betul gelagat teman dengan perut karung goninya itu. Seolah telah membudaya, pertanyaan tersebut baru mencuat ketika semangkuk bubur sop telah ludes dilahap Uceng secepat kilatan meteor.
Mata uceng kemudian terbidik tajam ke arah bungkusan daun pisang yang masih terbuntel di sisi mangkuk kosongnya. Laksana ular meliuk, tangannya menjalar hendak meraup singkong rebus yang sedikit tersembul dari buntelan itu.
Plaaaaaakkkkk ...
Geplakan bersarang di punggung lengan si Uceng, usai Oji tersadar sisa sarapan paginya tertinggal di permukaan meja kantin. Sebuah tempelengan hampir saja berlabuh ke wajah Uceng yang seperti adonan kue mengembang.
Masih terduduk di lapak yang sama, cekikikku yang kini membahana. Seolah jadi pemandu sorak dalam acara live talk show komedi, hari-hariku bersama tiga sekawan konyol ini, ya, seperti itulah.
{}{}{}
GONG XI FA CAI
Senin, 8 Februari 2016