Dan, lengan lelaki itu terayun, mengusap-usap rambutku penuh kelembutan. Seutas senyum di bibirnya mengembang. Namun, aku rasa tatap netra Oji kali ini ... tampak tak biasa.
"Ra ...!" Tiba-tiba raut wajahnya berubah dengan sedikit gelagat kecanggungan.
"Hmmm?" Kutatap wajahnya lekat.
"Aku mau mengurangi beban."
"Heh? Beban ..." Ekor mataku beredar, "hidup?" polosku merocos.
Sengit wajahnya timbul mengekspresikan penyangkalan pada tebakkanku itu.
"Kebiasaan, sih, Ji. Kamu itu kalau ucap-ucap sukanya buat orang terka-terka du—" tempel jemarinya meregang di wajahku, dengan maksud menyetop omong mulutku ini.
Rogohan lengan tersulur ke dalam tas punggungnya, kemudian.
"Nah ..." Sehelai sorban keluar dari tas berbobotnya itu. "Ingatkan, kau?"
"Emh," jawabku sebagai iya-an.
Usai digulung-gulung kecil memanjang, dipintalnya sorban itu laksana syal musim dingin pada leherku ini.
Ia tiba-tiba tersenyum ramah.
"Apa, sih, Ji."
Saat aku puntir balik sorban itu untuk melepaskannya,
"Tunggu!" Jemarinya menahan puntiran lenganku ini.
"Aku ingin sorban ini bisa menjadi jarum kompas dalam anomali hidup kau, Ra," omongnya yang seolah menekankan pada sesuatu.
"Ya ... masa aku pakai sorban. Akukan bukan mus—" Ah, serempet bincang agama hampir tercetus.
"He-he. Bercanda. Untuk kau. Pakai saja!" ucapnya seraya merapihkan pintalan sorban yang sedikit aku lepas tadi.
"Ra ..." sapanya lagi tampak cukup serius. "Sesulit apa pun keadaannya nanti, seperti yang kau bilang tadi, 'cara terbaik mengatasi cemasnya masa depan adalah dengan kau percaya kepada-Nya.' Aku harap kau paham maksudku."
Diayunkannya tanganku kemudian oleh Oji, hingga tepat berlabuh pada posisi persemayaman jantung diri.
"Buat hatimu melunak dengan yakin bahwa Ia ada di sini, Ra."
"Ia?" Serumpun alis kananku terangkat lebih tinggi.
"Tuhanmu."
Batinku seketika membatu.
/Kilas Balik\
{}{}{}
Sejak detik ini, kupatrikan piringan tajam itu sebagai benda paling menggiurkan sejagat angkasa raya.
"Ra ..." Sebuah sapa tiba-tiba berdenging dalam otak, menyeret lintasan pikiran pada perbincangan aku dan Oji kala itu.
Melunakkan hati? Yakin bahwa Tuhan ada dalam diri ini?
Kalimat itu terucap kala tatap diri masih tertancap pada sebuah piringan tajam yang berdiri menjenjang bersama sejumput perkakas alat tulis di meja belajar.
Aku tak paham maksud Oji pada bait-bait terakhirnya sewaktu kami menyantap singkong rebus di atas bukit itu. Sungguh tak ada hubungannya dengan pembicaraan kami mengenai curhatan kehidupan Oji. Namun, pikiran setan yang sebelumnya merasuki diri berhasil dibuyarkan saat memori itu menelisik lagi.
'Buat hatimu melunak dengan yakin bahwa Ia ada di sini, Ra.'
Seuntai kalung yang masih tergenggam di lengan, aku sejajarkan kemudian searah bidik pandang. Fokus retinaku kini merapat tajam pada bandul salib yang terjuntai.
Tuhan. Katanya Engkau adalah tempat segala pilu untuk mengadu. Ujung topangan manusia kala kejinya dunia mulai membukakan topengnya yang penuh tipu.Tuhan. Katanya semaian harapan bertunas di singasana-Mu, yang bunganya adalah hasil kucuran doa para pecandu surga-Mu itu.
Tuhan. Apakah Engkau masih mau berbelas kasih padaku yang begitu bangganya mengira bahwa hidup ini akan baik-baik saja tanpa tuntun dari-Mu?
Tuhan ....
Sapaku berbincang.