HIDUP TANPA TUHAN

Tanilshah
Chapter #11

Lebih Dari Hancur #10

Jika mati adalah pilihan, maka hidup adalah bagian yang terbuang.

Satu bulan yang lalu.

Bulir peluh di dagu merintik jatuh menghantam tanah. Hari yang aneh. Cahaya matahari di seberang timur sana aku rasa belum sampai pada suhu klimaksnya, tetapi tubuh ini begitu panas membara.

Napasku pengap, langkah terseok, keringat tumbuh di sekujur pori wajah. Sesekali peluh di dahi aku cipratkan ke udara dengan punggung lengan. Sejuk semilir angin pagi yang kuterobos tak mempan melawan air raksa yang telah meninggi ke pucuk termometer kepala.

"Capeklah, Ra! Lah talambek kito. Lamo betul kau jalan, [Cepatlah, Ra! Sudah terlambat kita. Lama sekali kau jalan]" ketus seseorang menggerung di ujung simpangan sana.

Jalan?

Kupikir ini sedang berlari. Saat aku menundukkan pandang melihat langkah sendiri, nyatanya memang aku tengah menyicil langkah kaki.

Manusia di seberang sana menunjuk-nunjuk ke arah pergelangan tangan yang tiada jamnya. Interupsi bahwa waktu sudah semakin siang bagi siswa yang berangkat ke sekolah, tak mempan membuat langkahku menambah kecepatan lagi. Aku terlampau letih.

"Ondeeeeh, kalah kau bangun sama ayam. Aku jadi ikut terlambat ke sekolah ini!" cecarnya menyapa aku yang baru saja sampai di simpangan pertigaan sebuah tanjakan.

Tumpuan badan aku lucutkan di kedua lutut sembari terengos mengatur ritme jantung yang hampir copot. Tak peduli lagi aku akan cerocos manusia di depanku ini.

Disekanya bilah hoodie-ku pada bagian kerah, kemudian.

Ia menurunkan poros badannya, menyejajari sumbu tinggiku kini.

"Hari apa coba sekarang?" tanya Oji menggertak.

Dengan mantap aku menjawab, "Selasa."

Tubuh jangkungnya kembali menjengjang lurus, bersedekap lengan dengan seujung bibirnya menyungging ke angkasa.

Aku yang mengayunkan pandang mengikuti perubahan poros badan Oji, terpicing melihat kejanggalan seragam yang membungkus raga lelaki itu.

"Aih, kamu pakai batik?"

Tentu saja pertanyaan itu mencuat karena amat bersinggungan dengan nama hari yang kucetus.

Kemudian, dihentakkannya regang lengan Oji pada ubun-ubun kepalaku ini.

Komat-kamit menggoyang bibirnya. "Hfuuuhh. Sadar kau, Ra!" Remas lengannya menyungkurkan kepalaku pelan.

Mataku mengedip berkali-kali. Kugelengkan punca tubuh untuk menyadarkan diri.

"Sekarang hari apa, ya, Ji?" Pertanyaan itu kini berbalik pada Oji.

Mulutnya membungkam, seolah membiarkan aku untuk berpikir sendiri.

"Rabukah?" tanyaku menginterogasi.

"Salah kostum kau?" balasnya menggugat.

Iiisshh. Seragam putih aku pakai karena menduga ini adalah hari Selasa.

Punca otakku segera menerabas pada suatu ingatan, diselarasi dengan batin yang meraung karena hari rabu adalah ...

Hari rabu? Tunggu ... Ibu Denok? ASTAGAAAAAAAA!!!!! Remas jemari sukses mengadoni surai kepala.

Sosok guru berbadan tambun dengan wajah bengis itu memuntir di atas ubun-ubun. Satu soal fisika —beranak sepuluh yang harus tertengger pada mejanya sebelum jam pertama, membuat panik melebihi salahnya seragam yang aku pakai sekarang.

Obrak abrik tas adalah keonaran saat ini.

"Baa? Salah bawa buku pelajaran kau?"

"Kupinjam lenganmu, Ji."

"Heh ...?"

Rataan lengan Oji aku jadikan alas meja untuk segelintir buku yang aku keluarkan satu persatu.

"Bahasa Inggris," ejaku pada judul buku tulis pertama yang teridentifikasi keluar tas. "... bukan buku ini. Emmm. Sejarah? No, no! Mandarin ... bahasa Indonesia ... biologi ... tikom. Heerrrkkkkhhh!!!"

Sebuah buku dengan sampul warna merah menggelora yang hanya ada satu-satunya, aku harap tersumpel dalam tas.

Apa ini.

Lihat selengkapnya