"... syok, Dok?"
"Ya. Sebetulnya itu respon alami ketika seseorang mengalami lonjakan emosional yang kuat. Beruntungnya sayatan di lengan pasien tidak terlalu dalam, jadi—"
Sembari menyeret tiang infus, aku menyingkir dari bibir pintu ruang inap usai mengintip Bibi dan seorang dokter tengah bercengkrama di luar sana.
Lepas itu, kukayuh langkah merapat ke jendela. Dari balik gedung rumah sakit di lantai dua, kosong netra aku tualangkan pada langit yang tengah menabur rona kebiruannya.
Regang lima jemari aku taruh kemudian di depan wajah, menghalau benderang matahari yang tengah mengudarakan cahyanya menuju pucuk angkasa sana.
Pintu ruang inap kudengar terbuka perlahan.
"Aku ingin pulang, Bi," pintaku saat ekor mata ini masih asik bertualang di langit.
"Ra ...?"
Suara itu.
Gejolak emosi tiba-tiba datang sulit diredam. Tak biasa, mengapa kini mendengar suaranya saja membuat batin begitu murka.
"PERGI!!!!" sentakku tanpa menoleh pandang pada sapa lelaki itu. "Pergi, Ji. Aku tak mau melihat wajahmu lagi!" tegasku kemudian.
Suara tangis kubungkam saat bulir netra mendadak jebrol dari kelopaknya.
"O-oke. Jika datangnya aku ke sini mengganggumu, aku ... pergi, Ra."
Jangan. Pinta hati melirih.
Aku remas kuat bilah pakaian di tubuh, menyokongkan gejolak rasa yang tak bisa aku pungkiri inginnya apa. Jauh di palung sanubari, alih-alih mengusirnya pergi, menahannya di sini itulah pinta hati.
"Tapi ..." ucap sendunya menggantung.
Seret langkah terdengar mendekat, membuatku penasaran hingga merotasikan arah haluan badan. Sebuah benda diletakkannya di atas ranjang pasien, sebelum akhirnya punggung itu aku lihat menjauhi bangsal.
Aku pun merapat. Pandangku terpaku melihat apa yang dibawanya ke tempat ini. Sembari duduk di atas ranjang putih, bendungan di kelopak akhirnya sukses dibuat meluap susuri liang renik pada wajah. Batin begitu sesak saat benda itu aku tindihkan di permukaan dada.
Mommy.
Nostalgia batin diri mengulas histori.
{}{}{}
5 tahun yang lalu.
"Happy birthday peri cantiknya Mommy."
Sebuah surprise tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.
Aku kecil yang tengah terduduk khusyuk di meja belajar, dibuat bangkit ketika sebuah kue sederhana —tanpa batang lilin terhampar di depan mata.
"Kue?"
Gancang. Aku berlari menghamburkan tubuh mungil ini dalam peluknya. Kejut bahagia tengah membumbung dalam diri.
"Daddy?" Pandangku menyisir lebar ke luar kamar saat lelaki itu tak muncul bersama kejutan yang datang.
"Daddy ada meeting ke luar kota, Sayang. Maka dari itu," Batang hidungku disentilnya gemas. "... Mommy pulang cepat dari kantor supaya bisa beli kue ulang tahun, tapi karena Mommy buru-buru jadi lupa beli kadonya." Wajah itu memberengut sesal.
"Kara, ingin hadiah apa dari Mommy? Nanti biar Mommy belikan besok. Hmmm? Mau apa, Sayang?" ucapnya teramat antusias.
"Emh. Kara, ingin ..." Sisi lengan kiri aku lipat di permukaan perut, sedang sisi lain mengacung ke udara sembari mengetuk pelipis. "... apa yah?" Saat kebingungan melanda pikiran, tiba-tiba,
"Agama, Mom. Kara ingin punya agama. Hi-hi."
Mengingat Daddy dan Mommy tak pernah mengajariku dasar-dasar sebuah spiritual diri, kata itu terceletuk dengan polosnya.
Ia tertawa geli. "Ah, Mommy punya sesuatu. Kara, tunggu sebentar di kamar, yah!"