HIDUP TANPA TUHAN

Tanilshah
Chapter #13

Tentang Setelahnya #12

"A-aku suka kamu, Ra."

"Aku berkenan menjadi jembatan Tuhan kalau kamu ingin mengenal-Nya lebih jauh."

{}{}{}

Harusnya aku sadari semua dari awal, Ra. Saat di pantai itu. Saat langkah kepergianmu tertahan di atas pasir karena ungkap rasaku. Saat tiba-tiba kau menolehkan pandang ke arah laut lepas. Harusnya aku sadari bahwa kemelut keluarga sedang rasuki sukmamu.

Kini, di depan senja yang sama. Di atas tebing karang tempatmu memasrahkan segalanya. Di sinilah aku berada sekarang, Ra.

Hanya laut tempatku bertegur sapa, karena jangankan jasad, bahkan nisanmu pun aku tak tahu harus menemuinya ke mana.

730 senja sudah terlewati. Selama itu pula ribuan sesal aku tangisi.

Kosong menghampa. Sekencang apapun debur ombak yang aku dengar sekarang, batin ini tak akan pernah bisa rasakan riuhnya.

Ra ... kenapa? Tak bisakah setidaknya kau beri aku kesempatan?

Belumlah aku bisa menjadi jembatan Tuhan untukmu, belumlah jua aku memperjuangkan rasa yang ada. Mengapa kau pergi bahkan sebelum aku melakukannya?

Pedih. Itukah yang kau rasa saat menatap senja indah yang tak akan pernah kau temui lagi selamanya. Sepedih inikah? 

Lelaki macam apa aku? Bukannya jadi bahu tempatmu mesandarkan pilu, bagaimana bisa aku turut menjadi bagian yang menambah kemelut hingga kau berani taruhkan nyawamu.

Bagaimana aku mengembalikan kepercayaan diri ini, Ra?

Selama ini aku merasa dipenjarai oleh sesal karena telah membunuhmu dengan belati tuturku sendiri.

Rahasia itu ... dan segala apa yang kau tutupi dari dunia, andai kuungkap dengan cara lebih baik, apakah mungkin semua yang terlewati tak akan seburuk ini?

{}{}{}

Dua tahun yang lalu.

Senin, 15 Februari 2016

"Sadang apo kau bulak baliak jo di biliak?[Sedang apa kau mondar mandir saja di kamar]" tegur Amak yang tengah memancangkan tubuh di ambang pintu.

"Sarapan sana! Amak lah siapkan di meja tu," titahnya sembari menjempalitkan arah punggung.

"Mak?" tahanku, menarik lengan Amak sebelum pergi jauh dari ambang pintu.

"Iyo."

"Oji izin, yo, Mak?"

"Izin ka mano? Bukannyo kau kini pakai seragam ka pai sikolakan? [Bukannya kau sekarang pakai seragam mau ke sekolahkan]"

"Emmmm ... salam dulu, Mak." Kuraih dan ciumi lengan Amak.

"Heh? Hari baru jam 6, kau ka barangkek sikola kini? [Masih jam 6 pagi, kau mau berangkat sekolah sekarang]"

Segera aku sigapkan langkah menuju pintu rumah.

"Oji izin bolos sikola, Maaaaaaak," pekikku merambat dari kejauhan.

"Apo? bolos? Wah, kurang ajar ini anak!!!" Amak mengejar dengan segenggam sapu lidi yang siap menyabet.

"Ojiiiiiiiiii. Indak Amak agiah pitih [Tak Amak bari uang] jajan kau seminggu, yo," ancamnya dari halaman rumah padaku yang telah sukses meloloskan diri.

Keadaan sekarang jauh lebih genting dari sekadar uang jajan, Oji, Mak, batinku yang tengah diarungi keresahan.

•••

Perumahan Persada Asri nomor 24, mana yah? Celingukku disebuah komplek elit.

Ini 22 ... hah, sana 24 pasti. Aku lengangkan langkah menuju titik tuju.

Uwaaaaaahhhh ...

Sejenak aku tergeming depan gerbang rumah nomor 24 sembari mendongak, terkesima akan kemegahan rumah bertingkat dua di hadapan pandangku kini.

Dan, tinggal seuprit lagi telunjuk menekan bel,

"Cari siapa, yah?" Seorang wanita paruh baya dari dalam gerbang bertanya. Kulihat kresek sampah terlilit di genggamannya.

"Ini benar rumah Kara, Bu?"

Raut wajah yang kupandang entah kenapa tampak sama resahnya seperti aku saat ini.

Dibukannya gerbang itu kemudian. "Mas, temannya, Non Kara? Saya asisten rumah tangga di sini."

Aku mengangguk. Belumlah sempat napas terhirup sempurna, ditariknya lenganku amat memburu.

"Non Kara, tak mau keluar kamar dari semalam," jelasnya yang semakin akas berjalan usai lewati pintu. Aku sepadankan langkah ini mengikutinya dari belakang.

"Memangnya Kara— astagfirullah ..." Netraku mengerjap kala melihat pecahan kramik tertumpuk padat di satu titik.

"M-maaf. Bagian itu belum Bibi buang ke tempat sampah."

"Itu ... bisa pecah begitu karena apa, Bu?"

"Nanti Bibi ceritakan, yang penting sekarang, Non Kara dulu," cakapnya saat kami menaiki tangga rumah.

"Ini kamarnya, Mas," tunjuk wanita paruh baya itu.

Tok ... Tok ...

"Ra ...?"

"Percuma, Mas, tak akan dijawab."

Saat aku coba tekan gagang pintu, "Dikunci, Bu."

Lihat selengkapnya