Helsinki, 25 November 2022
Suhu kini menyentuh -10 derajat celsius. Bbrrrrrr ... musim dingin yang cukup bengis di Ibu Kota Finlandia. Dari bibir jendela balkon kamar apartemen lantai 21, kulihat kristal salju yang dimuntahkan langit begitu tebalnya.
Sluuurp ... ahhhhh. Secangkir cokelat panas adalah pendongkrak kehangatan tubuh terbaik di cuaca seperti ini.
"Bibi ...?" pekikku yang masih teguh berdiri depan jendela balkon.
"I-iya, Non." Sahut suara menerobos pintu kamar yang tertutup.
Kleekkk ...
Pintu itu dibukanya. Aku membalikkan arah punggung. Sebuah kepala kulihat menongol separuh.
"Iya?"
"Dua jam lagi kita check in, ya, Bi."
"Non ..." Batang tubuhnya mekar sempurna dan merapati tubuhku kini. "Non, yakin?" tanyanya tampak gelisah.
Aku mengangguk. "Ada seseorang yang harus aku temui, Bi."
Tampak raut wanita paruh baya itu masih terpampang gundah gulana.
Ia menghela napas. "Bukannya berada di sini lebih nyaman, Non," ujarnya.
Aku kedikkan bahu, setelah sebelumnya menaruh cangkir di atas nakas. Kuayun kedua lengan hingga mendarat di bahunya.
"Aku baik, Bi." Senyum tulus kusuguhkan sebagai upaya meyakinkan Bibi.
"Tapi Non, Bibi—" Acungan telunjuk mengorbit ke bibir wanita di hadapanku, guna menyetop omongnya itu.