HIDUP TANPA TUHAN

Tanilshah
Chapter #5

Lakon di Balik Kelir #4

Kelir1 dalam pagelaran wayang, laksana batas antara realitas dan bualan dalam lakon hidupku. Penonton hanya melihat burik hitamnya saja, tak serta merta mengerti jiwa asli yang dipandang bagaimana mestinya.

Déjà vu.

Aku tergeming sejenak.

Momen ini ...

Seketika, pintalan benang kusut dalam long-term memory yang aku korek tadi, kini seolah terurai dengan lurusnya.

Bandara // Sanggahan kepalaku di bibir kaca mobil // Jumpa pertamaku dengan Daddy // Gema itu // Bangunan dengan genting separuh bola mengerucutnya // Pelataran surau // Lelaki dengan kain yang terkalung di lehernya // Who he really is?

Biji mataku terbelalak, dan kini tertaut erat pada tatapnya.

"Ou-jei-i!" Tiga patah kata itu kemudian aku hantarkan padanya sebagai pengetesan.

"Hmmm?" sergahnya tak paham.

"O-JI!!!" lafalku mengucap kata seharusnya.

"Kau tahu namaku?"

Tak salah lagi, dialah orangnya. Bongkah napas yang tertahan, kemudian berhembus kuat dibarengi regang otot yang kembali mengendur.

"Kau ingat aku sekarang?" sambung tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

"Lalu nama kau?" Dilihatnya sebuah badge bet yang tersemat di dada kanan ini.

"Karaissa Ma—" omongnya terpotong.

"... ria," lanjutnya kemudian, tampak berat bercakap.

Aneh. Kenapa ucapnya terpatah, padahal namaku tersemat tanpa kata yang tersingkat.

"Winston," pungkas lelaki itu merapal sempurna ketiga kata yang tersemat dalam badge bet ini.

"Maria? Kau, Kristen?"

Dwaaaaaar ...

Tanpa memberi celah untuk bersiap, sebuah guntur seolah menyambar ubun-ubunku dengan kilatnya. Sungguh. Aku tak begitu suka jika seseorang sudah berbincang menyerempet soal agama. 

Aku hempaskan apa yang tertudung di kepala ini, mengarah pada tubuhnya. Lekas pergi meninggalkan dia —memasuki gerbang sekolah— dengan maksud menghindari pertanyaan yang ia rapal tadi.

"Kupikir ... kau dulu seorang muslim," pekik lelaki itu melengking penuh energik, membuat aku menjadi pusat perhatian jejeran siswa berjas hitam di gerbang masuk sekolah. Segera, aku sumputkan wajah ini dengan lekuk sikutku, seraya berjalan amat memburu. Bak puting beliung, kusibak lalu lalang siswa lain yang merintangi langkah ini.

{}{}{}

Pukul 16.00 WIB.

Bunyi bel menggema seantero gedung sekolah. Menandakan waktu belajar telah selesai di hari itu.

Lihat selengkapnya