Dan kini, bilah rasa yang telah ringsek digilas tuturnya ... tak akan mengembalikan kayu setelah menjadi abu.
"Oji ...!"
Tepat saat langkah kaki meninggalkan pelataran gereja, wajah itu terpampang di sudut parkiran.
{}{}{}
"Aku kaget, loh, Ra, kau ke gereja," celetuk Oji saat raga kami berada dalam minibus yang sarat akan penumpang.
Lebih terkaget aku yang tak menduga ia akan mengintili sampai ke gereja saat pandang tak sengaja dirinya melihat aku waktu terlamun di halte keberangkatan. Katanya.
"Memangnya masalah? Akan lebih kaget kalau kamu lihat aku di klenteng, OJi!" umpatku yang geram karena dibuntuti tanpa mohon diri.
"Marah kau?" Ditatapinya penuh lekat wajahku, kemudian.
Dengan akas, elakkan wajah menggilas udara karena tak ingin dipandang.
"Punya masalah itu jangan kau kubur sendiri, Ra," ujarnya seraya merebahkan kembali punggung pada senderan kursi penumpang. "Aku siap jadi sampan kalau kau mau mengarungi lautan," sambung Oji.
Hadeuh. Inteleknya kembali menggila.
Rasa yang tengah dipenjarai oleh temaramnya masalah diri, cukup ditenangi kala mata nurani Oji yang teramat hebat berhasil menerawang kekusutan mimik tampang ini.
"Kita turun di sini, Ra. Ganti minibus!"
"Haaah ...."
Tanpa bincang kejelasan apa pun, ditariknya aku turun dari minibus yang tengah terhenti di salah satu halte.
Saat pijak langkah menapaki jalanan beraspal, "Aku sedang tak mood kemana-mana, Oji!"
Lingkar genggamannya di pergelangan semakin merekat kala aku berontak.
"Masih daerah Batang Anai. Tenang."
Sisi lengan Oji yang kosong lekas merentang terlambai, menyetopkan sebuah minibus jurusan Katapiang yang datang kemudian.
Dan, dibawanya aku entah ke kaki langit mana.
.
.
.
.