“ Dari mana kamu??” Tanya seorang lelaki paruh baya.
“ Kursus lah.” Jawab Rifki tanpa menoleh ke arah ayahnya.
“ Gak ada sopan-sopannya. Mau jadi apa kamu??”
“ Emang kalo Rifki bilang pengen jadi apa yang Rifki mau, Ayah ngizinin??” Tanya Rifki menantang.
“ Ayah udah siapin masa depan buat kamu, jadi kamu tinggal ikutin aja alurnya.” Jawabannya membuat Rifki tersenyum sinis.
“ Yang mau jalanin masa depan, Rifki apa ayah??”
“ Apa maksud kamu?!!” Pertanyaan itu, membuat Rifki membalikkan badannya menatap mata ayahnya yang sedang duduk di sofa dengan TV yang menyala.
“ Apa?? Ayah selama ini ngomong kalo Ayah dah nyiapin semua untuk masa depan Rifki, emang yang mau jalani masa depan itu Ayah?? Bukann!! Tapi Rifki!!!!”
“ Gak tau diuntung.” Balasnya dengan senyum meremehkan. “ Kalo kamu di masa depan gak sukses, yang susah siapa?? Ayah, Nanti kamu juga bakal terus sama Ayah, karena emang masa depan kamu yang gak jelas.” Lanjutnya.
“ Apa yang membuat Ayah yakin kalo pilihanku gak bisa membuat aku sukses di masa depan?? Emang selama ini Ayah juga tau apa masa depan yang aku inginkan?? Enggakan??” Balas Rifki berusaha untuk meredam sakit hatinya.
“ Kamu pikir gampang menata kesuksesan dimasa depan?? Mudah untuk cari kerja?? Engga Riff.”
“ Siapa yang bilang gampang?? Yah kalo perlu Rifki ingetin, Ayah juga gak pernah ngasih kesempatan itu untuk Rifki.”
“ Kamu gak pernah bersyukur ya! Kamu harusnya bersyukur udah Ayah jamin untuk kesuksesan kamu!!” Kata Ayahnya membuat Rifki tersenyum kecut.
“ Apakah kesuksesan menjamin Rifki untuk bahagia??” Lirihnya. “ Sedangkan selama ini Rifki hanya dituntut untuk melakukan semua proses yang udah Ayah siapkan. Kalo Ayah mikirin kesuksesan Rifki agar Rifki bisa hidup bahagia di masa depan, kenapa Ayah gak pernah membuat Rifki bahagia di masa sekarang??”
“ Kamu tau kan?? Sakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian.” Jawabnya.
“ Ya Rifki tau, tapi apakah bersenang-senang kemudian itu ada untuk Rifki??? Sedangkan Rifki gak suka dengan masa depan yang disiapkan Ayah??” Perkataan Rifki membuat emosi Ayahnya tersulut. Membuat Rudi beranjak dari duduknya dan menampar Rifki dengan keras.
PLAKKK
“ Ayah kerja cape-cape buat mempersiapkan masa depan kamu!! Kamu cukup ikuti alur yang udah Ayah buat. Kamu tuh gak pernah ngebahagiain Ayah.” Ucapnya sambil kembali duduk di sofa itu.
“ Laki gak usah cengeng!! Kamu salah maka harus dapet konsekuensinya, dan kamu tau itu.” Katanya sedangkan Rifki masih bungkam.
“ Kapan kamu lomba??”
“ Kamis, Rifki pergi ke Bogor.”
“ Oke mulai kamis kursus kamu libur, tapi di hari lain bakal ditambah jam belajarnya. Ayah udah ngorbanin waktu belajar kamu. Jadi jangan di sia-siakan dengan kekalahan!!” Katanya membuat Rifki serasa dijatuhi beban ber ton-ton, tertekan.
“ Senin juga kamu ujian, awas aja Ayah tunggu hasilnya!”
“ Hmm.” Rifki hanya bergumam dan segera melangkahkan kakinya ke kamar.
Clek
“ Jingin di sii-sii in dingin kekilihin! Bullshitt!! Namanya juga lomba, ya ada menang dan kalah. Kesempatannya 50 : 50. Ngaco emang!! Kaya belum pernah ikut lomba aja. Mandi ahh biar gue bisa ngebuang omongan buruk bokap!!”
~~~
“ Bin, kalo aku gak bisa menang gimana??” Tanya seorang perempuan berusia 7 tahun dengan rambut yang dikuncir dua dengan wajah yang berwarna merah yang masih berlinangan air mata.
“ Emang kalo gak menang kenapa??” Tanya lelaki yang berumur sama dengan perempuan itu. Mereka sedang duduk di ayunan yang berada di taman dekat rumah mereka.