Hidupku Milikku

Sekarningtyas
Chapter #27

Hidupku Milikku - 27

               “ Ki jangan ngelamun napa.” Kata Satrio yang jengah melihat sahabatnya itu hanya melamun sepanjang hari.

               “ Balik Ki, udah malem. Nanti bokap lo nambah marah.” Kata satrio. Ia tau apa yang dipikirkan sahabatnya itu, tapi justru semakin malam Rifki pulang, maka bokapnya itu bakal semakin marah.

               “ Ya udah gue balik ya Yo.” Pamit Rifki yang diangguki Satrio.

               “ Maaf ni Ki, bukannya gue ngusir.” Kata Satrio tak enak.

               “ Iya gue paham ko, udah gak udah dipikirin.” Kata Rifki seraya memasangkan helmnya.

               “ Gue balik.” Pamit Rifki lagi yang diangguki Satrio. Jujur jika boleh Satrio pun ingin menemani Rifki melewati hal itu, namun sayang hal itu sangat mustahil.

               Selama perjalanan Rifki hanya menyiapkan mentalnya untuk skenario terburuk. Ditatapnya rumah dua lantai tersebut dengan perasaan cemas. Namun ia bertekad untuk menghadapi apapun yang terjadi.

               Ia memakirkan motornya, lalu melangkahkan kakinya menuju rumah itu dengan perasaan cemas. Ketika Rifki membuka pintu, ia tertegun. Ayahnya telah berdiri tegak dengan ekspresi yang sangat marah di depan pintu. Hal itu membuat Rifki mengepalkan tangannya – memberi kekuatan.

               “ Pah.” Sapa Rifki dengan senyumnya dan mengulurkan tangannya untuk menyalami tangan ayahnya. Namun, tak ada respon darinya yang membuat Rifki kembali menurunkan tangannya.

               “ Kemana aja kamu?? Mau berusaha menghindar??” Tanyanya sinis yang tak dijawab oleh Rifki. “ Kamu pikir Ayah gak tau??” Tanyanya dengan senyum mencemooh Rifki. Rifki tak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya. Sedangkan Rudi masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh Rifki.

               “ Taro tas kamu.” Pintanya yang diikuti Rifki. “ Duduk sini.” Kata Rudi sambil menunjukkan lantai yang kembali diikuti oleh Rifki. Rudi entah kemana, namun ketika kembali, lelaki itu membawa setongkat rotan yang membuat Rifki terkejut dan mempersiapkan diri.

               Rudi mendekati Rifki dengan wajah santai. Dan ya, saat ini ia berdiri dengan rotannya tepat dibelakang Rifki. Rudi mulai mengangkat tangannya bersiap untuk memukul.

               PLAK. Hal itu membuat Rifki memejamkan matanya dan menggenggam tangannya erat.

               PLAK. PLAK. Suara itu terus bergema di dalam rumah Rifki, ayahnya seperti orang kerasukan yang tak memberi jeda sama sekali.

               “ARGHHH” Teriak Rifki kencang. Sudah lebih dari sepuluh menit ayahnya melakukan itu, ia yakin saat ini baju seragamnya sudah berwarna merah.

               “ Makannya jadi anak yang nurut!!!” Teriak Rudi tanpa menghentikan pukulannya. “ Ini balasan buat anak yang gak nurut Rifki!!!”

               “ Ayah mau Rifki gimana??” Tanya Rifki sambil menahan sakit yang mendera punggungnya. Sedangkan ayahnya hanya tertawa mendengar pertanyaan Rifki tersebut.

               “ Masih nanya kamu??” Tanyanya. “ Jangan jadi anak yang malu-maluin, nurut, buat Ayah bangga sama kamu!! Bukan Cuma nyusahin aja.” Katanya seraya menghentikan aksinya itu. Rifki berusaha mati-matian menahan sakitnya. Jujur ia sangat kecewa dengan perlakuan ayahnya itu.

               Rudi menaruh rotannya membuat Rifki bernapas lega. Namun dengan cepat Rudi kembali menghampiri Rifki dan mencengkram kerah baju Rifki dengan kuat.

               BUGH. BUGH. Dengan cepat Rudi menonjok perut serta pipi Rifki.

               “ Itu peringatan buat kamu Rifki!! Ngelawan satu sekolah aja gak bisa.” Katanya yang langsung meninggalkan Rifki yang terduduk lemas seraya menunduk dan air matanya terjatuh menunjukkan betapa hancurnya fisik, hati dan mentalnya.

               Setelah ayahnya Rifki pergi, Bi Emi langsung menghampiri Rifki dengan tangis dan tangan yang bergetar.

               “ Den.” Panggil Bi Emi dengan suara yang bergetar dan tangan yang berusaha menyentuh Rifki.

               “ Den ya ampun, sini Bibi obati.” Katanya lirih. Rifki mendonggak menatap Bi Emi dan tersenyum. “ Bi emang Rifki salah ya??” Tanya Rifki dengan mata yang terihat rapuh membuat Bi Emi semakin tak kuasa menahan tangisnya dan menjawab pertanyaan Rifki dengan gelengan.

               “ Kalo gak salah, kenapa Rifki sampe diginiin Bi??” Tanya Rifki yang tak mampun dijawab oleh Bi Emi.

               “ Padahal Rifki sayang banget sama ayah Bi, Rifki kangen sama mamah, tapi kan sekarang yang Rifki punya Cuma ayah. Rifki gak marah sama ayah ko, mungkin ayah lagi hilap aja ya Bi. Tapi kenapa ayah selalu hilap Bi?? Bi Rifki pengen diperlakukan baik sama Ayah. Sakit Bi. Kalo Rifki salah, ayah tinggal nasehatin Rifki aja, Rifki pasti nurut ko.” Perkataan Rifki membuat Bi Emi semakin tak tega. Rifki yang selama ini adalah Rifki yang kuat, tapi malam ini Bi Emi baru menemukan Rifki yang terlihat rapuh dan bercerita tentang penderitaannya. Apa Rifki sudah terlalu lelah??

               “ Ayo Den, diobati dulu.” Ajak Bi Emi yang dibalas senyuman oleh Rifki.

               “ Bi apa gak ada yang sayang sama Rifki?? Kenapa orang yang sayang Rifki pada ninggalin Rifki semua??” Tanyanya lirih membuat Bi Emi tak kuat dan membawa Rifki dalam pelukannya. Baju Bi Emi basah dan itu pertama kalinya Rifki menangis dihadapan orang.

Lihat selengkapnya