Pagi ini adalah awal mereka duduk di kelas XII. Muka males sekolah terpampang jelas di muka para siswa siswi. Mereka tak rela untuk meninggalkan hari libur dan mulai menempuh dengan hari-hari yang penuh dengan beban dan cobaan. Apalagi mengingat bahwa tahun ini adalah tahun terakhir mereka bersama-sama dan tahun yang penuh dengan ujian.
Semenjak kejadian tersebut, Rifki tak pernah pulang ke rumah lagi dan menumpang kembali ke rumah Ahmad. Rifki pun jadi terlihat sangat berbeda dari sebelumnya, tak ada raut kebahagiaan di wajahnya. Rasanya Rifki sudah terlihat seperti mayat yang berjalan, yang membuat teman-temannya prihatin atas kondisi Rifki. Segala hal juga sudah dicoba oleh sahabatnya itu agar Rifki kembali seperti semula. Namun sepertinya luka ini sangat dalam untuk Rifki sembuhkan.
“ Ki, kita semua sekelas lagi dong.” Kata Fahmi yang hanya dibalas senyuman oleh Rifki.
“ Ki lo jangan gini terus dong. Hidup itu berjalan maju, jangan stuck di sini aja, nanti bikin lo gak bisa dapetin hikmah atas segala kejadian yang udah terjadi Rif.” Kata Fahmi menasehati Rifki.
“ Mengikhlaskan itu emang sulit Ki. Tapi gue tanya ke lo, lo udah mencoba untuk mengikhlaskan??” Tanya Ahmad yang dibalas gelengan oleh Rifki. “ Nah Ki lo harus coba dulu, gue yakin lo pasti bisa.” Kata Ahmad.
“ Iya Ki, jangan sia-siain semua sakit yang udah lo rasain selama ini. Gue tau buat lo menempuh hidup sampe sini aja, udah banyak cobaan yang udah lo dapetin. Jadi lo jangan sia-siain semua perjuangan lo Ki. Ibaratkan lo lagi ngedaki gunung everest Ki. Lo udah mau nyampe puncak tapi tiba-tiba badai besar dateng nerpa lo. Masa lo mau diem dan pasrah biarin lo jatoh. Lo harus terus ngedaki lah, jangan sampe semua perjuangan dan waktu lo sia-sia.” Kata Satrio yang dibalas senyuman oleh Rifki.
“ Makasih ya, gue akan belajar untuk mengikhlaskan semuanya ko. Tapi rasanya semua yang terjadi ini belum bisa gue cerna dan terima. Jadi gue mau bolos aja ya.” Kata Rifki santai dan membuat teman-temannya menggeleng-gelengkan kepalanya
“ Ko kesel.” Kata Fahmi yang membuat Ahmad dan Satrio terkekeh.
~~~
Selama bersekolah di SMA Wijaya, ia baru mengetahui akses menuju rooftop. Dan tempat itu yang menjadi tujuan Rifki dan menjadi tempat favoritnya.
Ia memerhatikan Kota Jakarta dari atas sini, yang membuatnya bisa bernapas lega dan merasa jiwanya lebih damai. Ia merenungi semua yang telah terjadi dan berusaha untuk menerima semuanya. Jujur ia tak menyangka jika dunia akan selalu memberikannya kejutan yang sangat tak terduga. Kejutan yang sangat menyakitkan untuknya.
“ Ngapain lo?? Boloss??” Pertanyaan itu membuat Rifki menoleh ke arah suara tersebut dan tersenyum kecil.
“ Ki dulu ada orang yang bilang gini ke gue. ‘Hidup gak selamanya berjalan sesuai apa yang kita inginkan. Kesedihan dan kebahagiaan itu adalah bumbu dari kehidupan. Jadi kalo kita merasakan kesedihan ya sudah, gak usah berlarut dalam kesedihan. Tapi kita harus menyiapkan diri untuk sebuah kebahagiaan’. Karena gini Ki, misal lo makan-makanan yang pahit ya. Rasa pahit itu tetap akan hilang walaupun lo gak minum air atau makan sesuatu untuk menghilangkan pahit itu, ya walaupun rentang waktunya cukup lama. Tapi kalo lo mau rasa pahit itu cepet hilang, ya lo harus minum air atau sesuatu yang bisa menghilangkan rasa pahit itu. Iya kan?? Nah sama kaya kesedihan. kesedihan itu harus lo netralkan dengan kebahagiaan. Dan kita gak tau kebahagiaan itu datangnya kapan, jadi kita harus menciptakan dan mencari kebahagiaan itu sendiri. Kaya gitu Ki, lo paham kan?? Btw kata-katanya rada gue ubah sih.” Perkaataan itu membuat Rifki terkekeh dan mengangguk.
“ Tapi gimana caranya kalo gue pengen kaya gitu, tapi gue gak nemuin air atau sesuatu yang bisa ngilangin rasa pahit itu Kay??” Tanya Rifki sambil menatap mata Kayla dan Kayla tersenyum atas pertanyaan itu seraya memutuskan pandangannya ke arah Rifki, diganti dengan menatap lurus ke depan.
“ Tergantung Ki. Gini deh kalo lo gak nemuin air atau apapun yang bisa ngilangin rasa pahit itu sih gak masalah karena rasa pahit itu bisa ilang sendiri tapi dengan rentang waktu yang lama. Tapi masalahnya adalah ketika lo gak nemuin air atau hal lainnya, tapi lo masih memakan makanan pahit itu terus menerus, padahal lo tau kalo itu pahit dan lo gak punya penawarna. Jadi lo yang mana??” Perkataan itu kembali membuat Rifki tertegun sejenak dan tersenyum kecil.
“ Yang kedua.” Balas Rifki.
“ Ya itu artinya otak lo gak di pake Rif!! Udah tau pahit dan lo gak punya penawarnya, tapi lo malah makan terus menerus.” Kata Kayla membuat Rifki tertawa. Dan tawa itu membuat Kayla tertegun. Kayla menatap Rifki dengan tatapan yang sulit di artinya.
“ Nah lo lebih bagus ketawa gini dari pada diem mulu Rif.” Kata Kayla membuat Rifki menghentikan tawanya dan menggantikannya dengan senyuman.
“ Makasih Kay.” Kata Rifki tulus. “ Jadi sekarang gue harus ngapain??”
“ Ya terserah lo mau milih yang mana. Cari penawarnya atau nunggu semuanya hilang dengan sendirinya. Yang terpenting lo jangan terus makan sesuatu yang ngebuat lo ngerasa pahit itu.” Kata Kayla membuat Rifki tersenyum tulus.
“ Kalo lo yang jadi penawarnya gimana?? Mau??”