Hidupku Milikku

Sekarningtyas
Chapter #34

Hidupku Milikku - 34

Setelah lamanya ia tak pulang, akhirnya Rifki memutuskan untuk kembali menapakkan kakinya di bangunan itu lagi. Ya Rifki ingin mencoba untuk menerima semuanya.

               Rifki memasuki rumah tersebut dengan perasaan sepi yang langsung menusuk hatinya. Ia dengan cepat bergegas menuju kamarnya – tempat yang sangat Rifki rindukan. Rifki membuka kamar itu dengan perasaan tidak sabarnya, namun ketika kamar itu terbuka, menunjukkan seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kasur Rifki seraya memerhatikan pigura yang berisi fotonya dengan Raihan. Dengan cepat Rifki masuk dan merebut pigura yang sedang digenggamnya, membuat pria paruh baya tersebut terkejut.

               “ Apa maksud Anda masuk ke kamar saya dan mengambil pigura itu??” Tanya Rifki dingin yang membuat Rudi berkaca-kaca. Karena selama ini Rifki selalu baik dan berkata sopan kepadanya walaupun ia menyakiti Rifki. Namun sekarang semuanya berubah. Tak ada suara yang lembut dan suaranya ketika memanggil Rudi dengan panggilan “ayah”, membuat hati Rudi teriris karena merasakan sesak yang luar biasa.

               “ Keluar.” Kata Rifki dingin tapi tak dihiraukan oleh Rudi. “ Keluar!!!” Bentak Rifki namun kembali tak dihiraukan oleh Rudi.

               “ Apa yang Anda mau??” Tanyanya sinis membuat Rudi tersenyum sendu.

               “ Ayah terlahir dari keluarga yang miskin. Saat itu, untuk makan saja susah Ki, apalagi sekolah. Tapi Ayah ingat sekali, dulu ada bantuan dari desa untuk menyekolahi anak-anak yang tak mampu. Dan Ayah mendapatkan bantuan itu. Saat itu yang Ayah lakukan adalah belajar dan belajar. Ayah selalu mengumpulkan buku-buku bekas dan koran-koran. Setiap hari Ayah membaca buku dan Ayah semakin memiliki tekad untuk memperbaiki hidup. Atas usaha, akhirnya Ayah berhasil lulus dari sekolah dasar dengan hasil yang sangat memuaskan. Hal itu yang membuat Ayah mendapatkan beasiswa kembali untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Hidup Ayah begitu terus hingga Ayah masuk SMK. Belajar, jualan, bahkan rasanya semua pekerjaan terlah Ayah rasakan. Pedagang asongan, tukang semir sepatu, dan yang lainnya telah ayah rasakan. Tapi semua itu Ayah jalani dengan tekad yang kuat. Ayah juga selalu melihat teman-teman ayah saat itu yang mengikuti les, memiliki alat musik, dan sebagainya yang muncul perasaan iri dihati ayah Ki. Dan saat itu Ayah semakin bertekad ‘ pokoknya nanti kalo ayah punya anak, ayah akan membuat anak ayah merasakan semua hal itu’. Itu tekad Ayah Ki. Dan usaha demi usaha Ayah lakukan hingga Ayah bisa membangun perusahaan besar. Itu adalah hasil dari perjuangan, keringat, dan air mata Ki. Mulai saat itu kehidupan Ayah berubah 180%. Tapi dengan kesibukan Ayah, Ayah tidak bisa melanjutkan study dan bertekad bahwa jika Ayah punya anak kelak, Ayah akan menyekolahkan anak setinggi mungki dan di sekolah terbaik.” Katanya lirih sedangkan Rifki hanya berdiri dengan tatapan yang sendu. “ Tapi ternyata ambisi itu membawa Ayah ke jalan yang salah. Ayah selalu berambisi bahwa semua keinginan harus diwujudkan kepada anak Ayah kelak. Dan Ayah dibutakan oleh hal itu sampai Ayah tak pernah menanyakan apa kemauan anak-anak Ayah. Kamu tau kenapa Ayah selalu nyuruh kamu untuk melanjutkan perusahaan??” Tanyanya lirih dan mata yang berkaca-kaca itu menatap Rifki yang hanya berdiri menunduk. “ Karena Ayah gak mau perusahaan yang udah Ayah bangun sekuat tenaga itu hancur Ki. Maafin Ayah Ki. Kematian Raihan ngebuat Ayah sadar bahwa apa yang Ayah lakukan sangat buruk dan membuat anak Ayah tertekan. Malam itu ketika kamu memberikan surat itu ke Ayah, Ayah baru sadar Ki. Dan saat itu hati Ayah berkata ‘bukan ini yang aku inginkan’. Bukan ini Ki, bukan ini yang Ayah harapkan. Maafin Ayah ya Ki.” Katanya Lirih.

               “ Terus kenapa?? Bukannya selama ini Rifki udah jujur ya ke Ayah tentang rasa sakit yang Rifki rasakan karena perilaku Ayah??” Tanya Rifki dengan suara yang penu kekecewaan.

               “ Saat itu Ayah gak tau Rif, Ayah ngerasa bahwa ya apa yang ngebuat kamu lelah itu, gak ada apa-apanya dari yang Ayah rasakan.” Perkataan itu langsung membuat Rifki menatap Rudi dengan tatapan geramnya.

               “ BULLSHIT!!” Bentaknya yang membuat Rudi terkejut. “ Tadi Anda bilang, Anda ingin anak Anda tidak merasakan penderitaan Anda dan berharap anak Anda merasakan apa yang belum pernah Anda rasakan. Tapi tadi juga, Anda mengatakan bahwa sakit yang saya rasakan tidak sebanding dengan sakit yang Anda rasakan. Apa mau Anda Rudi Nugaraha!!” Perkataan itu membuat Rudi terperanjat kaget. Dan detik kemudian Rudi bersimpuh di hadapan kaki Rifki yang membuat Rifki bergeming.

               “ Rif maafin Ayah ya. Ayah salah, Ayah salah mendidik kalian, tapi Ayah sangat menyayangi kalian Rif.” Katanya lirih.

               “ Jangan gini Yah.” Katanya sambil membangunkan Ayahnya dan mendudukannya di pinggir kasur Rifki dengan Rifki yang menyajarkan tingginya dengan sang ayah. Rifki menatap lekat mata itu mencari kebohongan, namun nihil, mata itu hanya menunjukkan penyesalan dan kesedihan yang mendalam.

Lihat selengkapnya