Aldebarn High School

Prasetyo
Chapter #1

Before Begin

Pandanganku masih lurus ke depan. Kuperhatikan apapun yang ada di depanku dalam diam. Tanganku bersedekap di depan dada. Mataku mengikuti apa saja yang bergerak di depanku. Apapun itu.

Kusandarkan punggungku di dinding dekat gawang pintu keluar gedung ini. Di luar, lampu-lampu penerang mulai tampak menyala satu demi satu. Kukira gelap mulai merambat di sini.

Di sisi lain, seorang pria sedang menunduk dalam, menggeleng lemah, sedang diapit dua orang di kedua sisi, seolah takut kalau-kalau orang yang sedang mereka apit dapat raib sewaktu-waktu.

Lalu lalang orang keluar masuk pintu di dekatku sama sekali tidak membuatku menyingkir dari tempatku berdiri saat ini.

Aku tahu perbuatanku ini akan membuat gempar satu sekolah, dan aku tidak peduli.

Aldebarn High School.

Tempatku bersekolah sekarang harus tahu, bahwa ada satu kebenaran tengah disembunyikan di tempat ini. Sebuah bangunan sekolah lama yang kini menjadi gedung utama, merangkap tempat administrasi.

Pandanganku masih menatap ketiga orang itu saat kudengar sebuah suara merambah telingaku. 

"Sydney, terima kasih."

Yang tidak bisa kupastikan dia muncul entah dari mana. 

"Terima kasih, untuk apa?"

"Untuk semua yang telah kau lakukan untuku." 

Dekat sekali sumber suara itu.

Rasanya berada di telingaku sebelah kiri. 

"Jangan salah sangka dulu Gwen, aku tidak melakukan ini untukmu. Aku melakukanya untuk sebuah kenyataan, itu saja."

Gwen tertawa terlalu renyah hingga bisa membuat yang mendengarkan, berdesir jantungnya.

"Masih saja rendah hati seperti biasanya. Seorang Putri Luxemburg memang berbeda." 

Gwen masih berbicara. 

"Baiklah, aku akan pergi." 

Sembari berusaha meredakan tawanya. 

"Sampai jumpa." 

Sembari menepuk pelan pundaku.

"Tunggu dulu, Gwen." 

Aku melirik ke arahnya. 

"Urusan kita belum selesai." 

Berusaha menampilkan hawa mengancam. 

"Kuharap kau tidak lupa."

"Tentu saja aku ingat. Jadi, kita bertemu di tempat biasanya."

"Baiklah sampai jumpa." 

Kukembalikan lagi pandanganku menatap ketiga pria itu.

Masih dengan pria yang di tengah yang masih terus menggeleng. Namun, dari arah yang sama kulihat seorang gadis, sedang berlari ke arahku, sambil menutup mulutnya dengan satu tangan.

Dia adalah Ersa, pianis berbakat di Aldebarn Philharmony Orchestra.

Saat di dekatku, dia berhenti, dan menurunkan tangan dari mulutnya sendiri. 

Lihat selengkapnya