Kalau mereka tetap ingin tampil seadanya seperti ini, terserah. But, for my honor, I shall do my best.
Sydney Vrederijka Krijg.
***
Aku masih berdiri melipat tangan di dada, dan tidak bergeming. Sepertinya pembahasan mengenai intuisi tajamku tidak berlanjut.
Sebagai gantinyapenampilan menjadi topik bahasan selanjutnya.
"Berlin, kenapa katanamu kau ikat di pinggang seperti itu. Apa kau tidak sadar, penampilanmu ini membuat banyak orang mewaspadaimu?"
Tanpa menoleh sekalipun, aku tahu itu suara Savira yang berdiri tepat di kananku.
Sedangkan, Berlin yang berdiri di depanku meresponya.
"Kau bicara seolah penampilanmu baik-baik saja. Coba kau lihat yang kau pasang di tubuhmu itu. Sepatu boot berlapis logam dengan heel setinggi itu, knuckles yang berlapis logam serupa, belum lagi pelindung siku, dan lututmu itu. Orang akan lebih percaya jika kau adalah pimpinan gangster wanita ketimbang seorang artis ternama yang mereka puja itu."
Wow, serangan telak, dan terarah. Berlin menusuk Savira dengan ucapanya.
Namun, itulah kebenaran. Tadi aku sempat melirik ke arah Savira, melihatnya dari ujung bawah kaki hingga atas kepala.
Dan, aku menarik kesimpulan kalau penampilan dua gadis ini tidak jauh beda, memakai atribut bertempur di tempat umum. Mereka gila, jangan ditanya lagi.
"Ya, dan kurang rompi anti peluru saja maka lengkap sudah penampilan siap perang Savira."
Tifa yang berdiri di samping kanan Savira buka suara.
Berlin tertawa geli.
"Kau benar, Tifa."
Aku mengangkat ujung bibirku.
"Hei, ini namanya perundungan, tahu."
Savira berucap kesal sembari melirik ke arahku.
Aku berdehem untuk menormalkan sikapku lagi. Membuat orang lain kesal, terutama artis ternama itu tidak baik. Itu jika tak ingin para penggemarnya merundungmu habis-habisan di jejaring sosial.
"Hei, lihat, lihat. Orang itu sejak tadi melihat kemari. Aduh, jangan bilang dia terpesona padaku. Apa boleh buat, aku memang semempesona itu, bukan."
Jangan dengarkan ucapan Si Liar ini, jangan dengarkan. Jaga kesucian telingamu itu dari kalimat absurt itu Sydney. Lebih baik aku memastikan kebenaran ucapan Berlin. Dan, aku mengikuti arah pandangnya.
Benar juga, dia melihat kemari.
Dia berkelompok terpisah. Tidak dengan para orang yang mulai menggali lantai di bawah piano sebelumnya.
Juga terpisah dari kelompok 3 orang yang berdiri agak jauh di depanya.
Sesaat pandangan orang muda itu teralih, kala seseorang yang lain berkata di dekat telinganya. Tentu saja, suara alat, dan mesin pembongkar lantai itu pasti membekap telinga siapa saja yang berada di dekatnya.
Itu sebabnya aku memilih berdiri di sini, menjauh.
"Eh, eh, eh. Dia kemari. Dia benar-benar berjalan kemari. Aduh, bagaimana ini. Bagaimana jika memintaku menjadi kekasihnya. Oh, tidak, jangan secepat ini. Aku belum siap. Memang benar dia tampan, tapi aku tak bisa menduakan Jeremy."
Lady Samurai itu mulai meracau tak jelas.
Mentor Jeremy adalah pembimbing Club Vokal di sekolah ini, dan Berlin menjerumuskan diri masuk ke dalam club itu karena obsesi anehnya dengan Mentor Jeremy. Yang aku tahu mereka telah saling kenal sejak lama, dan itu bukan urusanku.
Namun, itu tetap saja tidak menghilangkan sifat binal Berlin.
Benar kata Berlin, orang, atau lebih tepatnya pemuda yang terus melihat kemari sebelumnya itu, berjalan mendekat.
Ok, abaikan pekik tertahan Berlin. Aku rasa hanya dia saja yang...
Oh, tidak, apa-apaan ini. Bahkan Savira, dan Tifa sudah merona wajahnya.
Aduh!
Iya, aku tahu kalau penampilan pemuda yang sedang kemari itu, cukup tampan. Namun, tidak cukup membuatku bersikap malu-malu, atau bahkan memalukan seperti Berlin sekalipun. Lagi pula, aku tahu tujuan pemuda itu kemari.
Semua berawal beberapa hari yang lalu.
***
"Hei, apa-apaan ini. Kenapa harus bubar. Padahal semuanya masih belum rapi?"
Ya, itu aku yang sedang protes.
Semua mata menatapku penuh dengan dorongan ingin menjerat leherku, dan menggantungnya di langit-langit gedung opera ini. Bagi mereka, yang seperti ini sudah di katakan latihan sepenuh hati, tapi bagiku, ini semua hanya main-main saja.
Segera aku beringsut dari tempatku duduk, meninggalkan harpa kesayanganku bersama tempatku duduk tadi. Mauku ingin rasanya langsung menerjang ke depan. Inginku menerkam siapa saja yang menghalangiku.
Namun, urung saat dua orang gadis mendekat, dan mensejajarkan langkah denganku.
Mereka adalah Savira, sang penyanyi utama.
"Sydney, kendalikan dirimu, ok."
"Kau bisa latihan sepuasnya dengan kita berdua setelah ini."
Dan Ersa, solo pianis di Aldebarn Philharmony Orchestra.
Juga pelapis suara harpaku saat aku, Ersa, dan Savira nanti di konser itu kami akan bermain trio.
"Aku tak bisa pertaruhkan reputasi Aldebarn Philharmony Orchestra dan City Of Angel Foundation. Dengan kualitas kelas biasa seperti ini, asal kalian tahu saja."
Aku berjalan dengan bergegas saat ucapan itu keluar.
Aku tahu kalau kedua orang ini berniat menghentikanku saat keadaan tak terkendali nanti. Lihat saja kedua lenganku yang mereka lingkari dengan kedua lengan mereka.
Terserah saja!
Tifa sudah bergetar di atas podium konduktor saat aku mendekat ke arahnya.
"Tifa, apa maksudmu dengan menyudahi latihan hari ini. Apa kau sebagai konduktor tidak merasa bahwa semua ini belum rapi, dan apa kau juga lupa kalau konser ini akan di gelar kurang sepekan."
Aku gusar, tentu saja.
Masih bergetar, dan masih menjadi pemandangan para pemain orchestra di belakang sana. Tifa membuka suara.