Berteman denganku itu mudah saja. Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri di depanku. Itu saja.
Sydney Vrederijka Krijg.
***
"Apa kau yakin ini tempatnya?"
"Tentu saja nona. Hanya ada satu tempat seperti itu di seantero sekolah ini."
"Baiklah, aku percaya padamu, Pandu."
Aku berjalan di bawah bimbingan Pandu, dia yang memimpin jalan.
Setelah melewati deretan rak buku, kini kami melintas di ruang penuh cubical dengan meja penuh komputer di dalamnya. Tidak kusangka untuk berlatih saja, aku bisa menemui kesulitan seperti ini.
"Pandu, apa tidak lebih baik kita kembali, dan biarkan aku latihan di dalam gedung opera."
Dengan terus melangkah, itu kalimat yang aku lontarkan.
Pandu melihatku yang sedikit berada di belakangnya. Sebelum kembali memperhatikan jalan yang dia lintasi.
"Anda sangat pantang menyerah sekali, Nona Sydney."
"Oh, jadi bagimu, sikapku yang seperti ini kau sebut pantang menyerah, ya. Padahal, biasanya para temanku menyebutku keras kepala, kau tahu."
Ya, itu salah satu sebutan yang mereka sematkan padaku. Sebenarnya aku kesal dengan sebutan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, aku juga merasa diriku memang seperti itu. Jadi, setiap sebutan itu mereka lemparkan, aku hanya bisa diam saja.
Berbeda dengan sebutan yang pandu berikan. Apa tadi dia bilang, pantang menyerah, ya. Julukan yang cukup baik kurasa. Dan, sepertinya kedua sudut bibirku sedikit terangkat.
Namun, samar aku mendengar suara tawa.
"Perbincangan ini mengingatkanku kepada nenekku di Suriname."
Oh, ternyata sosok nenek yang mengisi jiwa Pandu selama ini. Pecinta keluarga, ya. Aduh, manisnya.
"Apa kata beliau?"
"Begini katanya."
Pandu berdehem sejenak.
"Ingat ini, Pandu. Perbedaan antara gigih, dan kepala batu itu sangat tipis. Jadi, berhati-hatilah dalam mengambil sikap, mengerti."
Tidak ada yang salah dengan pesan itu. Lucu sekalipun juga tidak. Namun, perubahan nada bicara Pandu yang dia ubah menyerupai wanita renta itulah yang membuatku merasa geli. Dasar Pandu, ada saja ulahnya.
Tapi, tunggu. Kenapa aku juga merasa janggal di saat bersamaan. Oh, begitu. Jadi, secara tidak langsung Pandu juga setuju kalau aku keras kepala. Ditengah tawa kecil kukeluarkan, satu kalimat aku lempar.
"Sialan kau Pandu."
Pemuda yang juga tertawa bersamaku, menanggapi.
"Nona Sydney, anda mengumpat. Itu tidak layak anda ucapkan."
"Oh, jadi begitu. Jangan bilang padaku jika itu juga petuah dari nenekmu.
Tak ada jawaban, hanya tawa kami saja yang kami lakukan. Oh, ya. Ditambah satu rangkai gelengan dari kepala Pandu.
Perlahan suara tawa kami berhenti. Namun, alisku bertaut tatkala aku masih mendengar derai tawa suara selain dariku, dan pandu. Apa ada orang lain lagi selain kami. Tapi, karena aku lihat tak ada pergerakan dari Pandu, jadi aku merasa itu bukan masalah juga bagiku. Sepertinya aku abaikan adalah yang terbaik.
Pandu melambatkan langkah, melihatku beberapa detik di belakang, sebelum pita suaranya digetarkan.
Kita turun dengan melewati tangga ini, nona."
Aku menaikturunkan kepala tanda setuju.
"Baiklah."
Di bawah, gelap yang berselimut di tempat itu, dan senter Pandu menjadi satu-satunya sumber penerangan, sebelum saklar lampu pemuda itu nyalakan.
Langkah kami berlanjut. Pandu kembali memandu jalan.
"Selamat datang di basement gedung pusat administrasi. Katanya, disini dulunya adalah ruang vokal, dan musik. Walau saya juga tidak tahu pasti."
"Sama, begitupun diriku. Aku hanya mendengar dari rumor saja."
Seketika aku teringat sesuatu.
"Oh, ya, Pandu. Tadi, sebelum kita bertemu di gedung opera, aku mendengar suara gaduh, mirip suara benda-benda besar saling berbenturan. Apa kau melakukan sesuatu di tempat itu?"
Pandu berhenti, seketika!
Hei, itu bahaya, tahu!!
Terima kasih kepada reflek tubuhku yang terlatih ini. Ya, aku memang mempelajari tehnik beladiri yang hampir punah. Itu kulakukan tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya kerabat yang benar-benar dekat, dan seorang teman saja yang tahu.
Singkatnya, aku berhasil bermanuver, dan batal bertumbuk dengan Pandu. Namun, pemuda manis, dengan kulit eksotik coklat gelap, bermata bulat dengan iris opal, bergigi taring sedikit besar, dan berukuran tubuh ramping cenderung kurus itu malah mendekat padaku. Dia pikir aku akan terjatuh saat berkelit, dan hendak menangkapku. Maaf saja, aku tidak selemah itu, kau tahu. Kepedulianmu itu tidak diperlukan di sini.
Tunggu, apa baru saja aku bilang manis!?
Ugh!!
"Maaf nona, saya tidak bermaksud kurang ajar."
Aku hanya melambai serupa mengusir lalat.
"Tidak masalah. Bahkan berpikir kau kurang ajar saja, tidak."
Pandu hanya menarik tangan ke belakang kepala, menggaruknya yang aku yakin tidak gatal, dan tertawa canggung.