Cinta itu seperti air,
mengalir begitu saja tak peduli arah dan tujuannya.
Setelah kejadian di toilet waktu itu, perlahan Devan dan Sania menjadi dekat. Memang, mereka masih seperti kucing dan tikus, tetapi ada sesuatu yang berbeda.
Sikap Devan menjadi lebih normal pada Sania begitu pula dengan Sania. Semakin lama mereka semakin dekat. Tak jarang, sepulang sekolah Devan mengantar Sania pulang ke panti asuhan tempat Sania tinggal, kemudian Devan bermain sejenak bersama anak panti lainnya.
Waktu terus berlalu, persahabatan di antara keduanya semakin dekat. Hingga mereka kini kelas XI pun tempat duduk mereka masih bersebelahan. Tidak ada yang berubah.
Hampir setahun sejak kejadian Devan menolongnya dari serangan senior kelas XII, Sania masih belum bisa melupakan insiden itu. Bagaimana Devan datang seperti malaikat penyelamat baginya. Bagaimana Devan menenangkannya dengan sebuah pelukan. Mengingat itu semua selalu membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Sania terkadang berpikir bahwa mulai ada sesuatu yang salah dengan dirinya.
Semalam Devan menelepon Sania dan meminta dia untuk datang pagi-pagi ke rumahnya karena Raina, mamanya Devan sedang ke luar kota. Otomatis, tidak ada orang yang membangunkan Devan. Yah, kalau sekadar alarm jam dan telepon saja sudah tidak mempan membangunkan Devan dari tidurnya. Sania sudah biasa ke rumah Devan karena cowok itu sering mengajak Sania ke sana.
Pagi ini, Sania sudah berada di depan pintu kamar Devan. Sania menggelengkan kepala, menghilangkan bayang-bayang Devan yang sedang memeluk tubuhnya. Dia teringat akan tujuan utamanya datang ke kamar Devan, yaitu membangunkan cowok itu.
“Devaaaaaan!” Sania berkacak pinggang melihat Devan masih meringkuk di atas kasur dengan selimut yang menggulung tubuhnya.
“Udah jam setengah tujuh, dan lo masih belum mau bangun?”
Sania berjalan ke arah jendela, lalu membuka kelambu jendela kamar Devan. Sinar matahari langsung menerobos masuk dan menerpa wajah Devan. Cowok itu mengerang dengan sudut matanya yang berkedut. Sania menghela napas panjang melihat Devan menutupi wajahnya dengan selimut.
“Devan ih, kebo banget sih, lo!”
Kesal dengan Devan, Sania lebih memilih merapikan kamar cowok itu, yang lebih terlihat seperti kapal pecah. Berantakan. Bantal, guling, dan semua barang-barang Devan berserakan di mana-mana.
Kamar Devan sudah selesai Sania rapikan, tapi cowok itu masih saja belum mau bangun.
“Dev ... bangun.” Sania menggoyangkan tubuh Devan perlahan sambil menepuk-nepuk pipi cowok itu, tapi yang didapatnya hanya erangan.
“Devan bangun, kita harus sekolah.”
“Iyaaa iyaaa, lima menit lagi gue bangun,” gumam Devan tak jelas, kemudian menutupi wajahnya dengan bantal.
“Terserah lo.” Sania yang sudah kesal, kemudian keluar dari kamar Devan. Dia pergi menuju dapur dan memanggang roti untuk mereka berdua sarapan. Tak lupa, dia membuat susu cokelat hangat kesukaan Devan.
Sania menyalakan dispenser, lalu mengisi gelas yang sudah terdapat bubuk susu cokelat di dalamnya dengan setengah air panas dan setengah air dingin.
“Morning .…”
Sania menoleh ke belakang dan mendapati Devan yang tersenyum ke arahnya. “Pagi juga, kebo.” Sania kembali fokus pada susu di depannya. Dia mengaduk susu cokelat itu sehingga menciptakan suara dentingan sendok dan gelas yang saling bertabrakan.
Sania terkejut ketika merasakan tiba-tiba ada seseorang yang memeluknya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan Devan. Hubungan mereka memang menjadi seperti ini. Terkadang persahabatan mereka terlihat lebih dari itu.
“Dev, apaan sih? Lepasin, nggak?”
Merasa tidak nyaman, Sania mencoba melepaskan tangan Devan yang melingkar di pinggangnya. Semakin Sania berusaha melepaskan tangan Devan, semakin Devan mengeratkan pelukannya.
Devan meletakkan dagunya di atas pundak Sania, membuat Sania bisa merasakan embusan napasnya. Jantung Sania berdetak lebih cepat.
“Dev, nanti nyokap lo lihat!”
“Mama kan, lagi di luar kota,” jawab Devan ringan.
“Lepas atau kepala lo gue siram cokelat, nih?”
“Kejam!” Devan melepaskan pelukannya, kemudian menarik sebuah kursi ke samping Sania dan duduk.
“Nih!” Sania menggeser gelas yang berisi susu ke hadapan Devan. Dalam beberapa tegukan, Devan sudah menghabiskan seluruh isi gelas tersebut.
“Apaan, nih?” Mata Devan berbinar melihat beberapa lembar roti bakar di atas meja bar minimalis di depannya.
“Cecak goreng,” jawab Sania asal dan langsung mendapatkan jitakan di kepalanya.
“Sekarang siapa yang kejam?” Sania mengelus kepalanya kesal.
Devan mengambil selembar roti dari atas piring, lalu memakannya. Dia mengubah posisi duduknya menjadi menyamping menghadap Sania yang berdiri. Matanya memperhatikan Sania, cewek itu juga sedang menatapnya. Devan seakan mengingat sesuatu yang sejak tadi ia lupakan. Buru-buru dia menelan roti bakar di dalam mulutnya. “Lo nggak sarapan?”