Aku terperangkap dalam harapan semu
yang kuciptakan sendiri.
Pagi ini siswa X.1 disibukkan dengan aktivitas menyalin PR dari buku teman yang sudah mengerjakan. Pasalnya, jam pelajaran pertama akan diisi oleh Pak Hasan, guru Matematika yang terkenal killer dan tak berperasaan. Ditambah dengan kumis tebal dan mata elangnya, membuat guru itu semakin terlihat menyeramkan. Kalau sampai ada yang berani tidak mengerjakan tugas, Pak Hasan akan mengamuk dan tak segan mengeluarkan siswa tersebut dari kelas. Membayangkan kemarahan beliau saja sudah cukup menyeramkan dan membuat siswa X.1 pagi ini berkeringat dingin.
“Devan! Bisa diem, nggak, sih lo!” teriak Sania penuh kemarahan. Kali ini Devan melempari Sania dengan penghapus karet yang dipotongnya kecil-kecil. Teman sebangku Sania itu selalu saja menyulut emosinya di saat yang tidak tepat. Saat ini Sania sedang sibuk menyalin PR dari buku Rere. Jadi, untuk saat ini dia tidak ingin diganggu.
Devan tak menghiraukan ancaman dan tatapan membunuh dari Sania, malah wajah marah cewek itu membuatnya semakin bersemangat. Devan hanya berhenti sejenak mengganggu Sania. Beberapa saat setelah Sania kembali sibuk menulis, dia mengulangi lagi perbuatannya tadi.
“Yesss, goal!!!” Devan berteriak histeris bagaikan orang yang baru saja memasukkan bola ke gawang setelah penghapus karet yang dilemparnya dengan telak masuk ke mulut Sania.
Jika saja Sania tidak sedang sibuk menyalin PR, mungkin sekarang dia sudah menjambak habis-habisan rambut cowok menyebalkan itu. Sania menarik dan membuang napas perlahan, menahan agar emosinya tidak meledak. Setelah itu Sania kembali melanjutkan menyalin PR karena tidak ada waktu untuk sekadar meladeni Devan.
Devan tidak akan berhenti sebelum Sania benar-benar mengamuk. Jika apa yang dilakukannya tadi belum bisa membuat Sania hilang kendali, dia masih memiliki cara lain. Ujung bibir cowok itu tertarik membentuk senyum tipis, dia sudah dapat ide sekarang.
“Devan sialan!” pekik Sania sehingga seluruh pasang mata tertuju pada tempat duduk di pojok belakang kelas, hanya sepersekian detik kemudian para siswa kembali pada aktivitas mereka masing-masing. Terlalu biasa sehingga mereka sudah bosan menyaksikan pertengkaran bak tikus-kucing antara Devan dan Sania.
“Sori San, gue sengaja, sumpah, eh, nggak sengaja maksudnya.” Devan tertawa puas. Dia baru saja menyenggol lengan Sania saat cewek itu sedang menulis sehingga Sania tidak sengaja mencoret bukunya sendiri.
“Pergi aja gih sana!” ucap Sania menusuk sambil menekan dan menggosokkan penghapus karet pada bagian bukunya yang tercoret.
Devan memajukan wajahnya sehingga dia dapat melihat ekspresi kesal Sania—cewek yang sudah menjadi teman sebangkunya tiga bulan terakhir ini. “Kalau gue pergi, yang jagain lo nanti siapa, Sayang?” ucap Devan sambil tersenyum penuh kemenangan.
Sania berhenti menulis, lalu melirik Devan yang juga sedang menatapnya. “Jijik, sumpah!”
Devan memegang pipi Sania dengan kedua tangannya. “Jijik, tapi kok, muka lo merah sih?” Kali ini Devan tidak mengada-ada, tapi memang seperti itu adanya. Wajah Sania memang sering mendadak berubah menjadi seperti kepiting rebus karena perkataan Devan.
“Woi, jangan mesra-mesraan di kelas! Ada CCTV!” celetuk Rere yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja Sania. Sania terkejut dan segera menepis tangan Devan dari pipinya.
Sania memalingkan wajahnya dari Devan, lalu mendongak menatap Rere. “Mesra-mesraan apaan? Lo pikir gue mau sama cowok tengil kayak dia?” Ujung mata Sania melirik Devan tajam saat mengatakan kata “dia”.
“Terserah lo berdua, deh! Btw, buku gue mana?”
“Yahhh Re, gue belum selesai nyalinnya. Sebentar lagi dehhh, pleaseeee ....” Sania menggosok-gosokkan kedua telapak tangan di depan dada dan memasang wajah memelas agar Rere mengasihaninya.
Dengan tiba-tiba, secepat kilat Devan mengambil buku PR Matematika Rere di atas meja Sania, kemudian mengembalikannya kepada pemilik buku tersebut. Tanpa menunggu lama, Rere meraih bukunya dan berlalu pergi karena tak ingin buku itu disita lebih lama lagi oleh Sania.
“Lain kali kalau ada yang nyontek, jangan dikasih Re!” teriak Devan pada Rere yang sudah berada di bangkunya, di meja paling depan.
Sania memelotot menatap Devan. Cowok itu langsung berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangannya. Melihat wajah menyebalkan Devan, membuat Sania ingin menggaruknya saat ini juga. Namun, secara perlahan, tatapan Sania meneduh. Dia sudah lelah, ini bukan kali pertama Devan membuatnya kesal. Kapan pun, di mana pun, Devan selalu mengganggunya.
“Dev,” panggil Sania pelan dan penuh kesabaran. Namun, di balik itu semua, jari tangannya sudah gatal ingin menjambak rambut Devan sekarang juga. Tapi, tidak, dia menahan dirinya untuk melakukan itu. Kali ini, dia berencana meminta maaf kepada Devan. Mungkin saja dia memiliki kesalahan yang tak tersengaja sehingga Devan begitu sering mengganggunya.
“Hmmm .…” Devan balas berdeham tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar ponselnya.
“Gue—”
“Jangan bilang lo mau nyatain cinta.” Belum selesai Sania berbicara, Devan segera memotong ucapannya. Lagi-lagi mata Sania memelotot mendengar perkataan cowok itu. “Sori San, bukannya gue nggak suka sama lo ya.” Pandangan Devan beralih kepada Sania, menatap cewek itu remeh. “Tapi, lo tinggiin dulu deh, tuh badan, biar serasi kalo jalan sama gue.”
Ceklek. Pintu kelas terbuka, lalu muncul seorang laki-laki tua yang membawa buku di tangannya. Keberuntungan sedang berpihak pada Devan, dia selamat dari amukan Sania yang akan segera memakannya hidup-hidup.