“Hei! Hei! Kamu terluka?” Trisha mengguncang tubuh Carlos yang berguling ke sisi kirinya.
Mata cokelat terang Carlos masih terbuka, berkedip sesekali, menyadari cahaya matahari tepat mengenai mata ketika angin menyapa dedaunan di atas mereka.
“Carlos? Kamu terluka?” Trisha hampir berteriak, mengulang-ulang nama Carlos ketika lengannya dicekal.
Carlos merentangkan tangan sejenak sambil bernapas. Detik berikutnya, dia telah berdiri sambil menembak satu per satu kepala yang mengelilingi Trisha.
“Tidak semudah itu menangkap orang-orang dalam wilayahku,” ucapnya perlahan sambil menendang-nendang pasir di bawah kakinya dan menghampiri Trisha yang terlihat syok. Darah berceceran di sekitar kakinya.
“Jalan Collins. Stasiun Pemadam Tiga. Bereskan sebelum polisi datang.” Carlos meraih ponsel dalam saku di balik kausnya dan menghubungi seseorang. Tangannya menggenggam jemari Trisha yang masih terpaku dan menariknya menjauhi keramaian.
~~oOo~~
Trisha tak tahu harus melakukan apa. Dia mati rasa. Bak kerbau dicucuk hidung, dia hanya mengikuti langkah Carlos. Trisha bahkan tak protes saat lelaki jangkung itu memintanya naik ke boncengan motor.
Hembusan angin kencang menerpa kulit. Kesadaran Trisha perlahan pulih, meski syok masih dirasakannya. Teringat lagi cara Carlos memainkan senjata pada orang-orang yang mengepung. Gadis itu bergidik ngeri. Anyir darah samar-samar tercium hidung. Mata bulatnya seketika memejam begitu bertumbukan dengan noda merah gelap di baju.
Entah berapa lama motor itu melaju, Trisha tak tahu. Orientasinya akan ruang dan waktu terdistraksi. Tahu-tahu dia sudah berada di restoran kecil bersama Carlos.
“Carlos?”
“Kalau kamu merasa berhutang, lain kali kamu bisa membayarku. Untuk sekarang kamu bisa tinggal di sini.”
Gadis itu merengut. Percaya diri sekali pria di hadapannya ini. Memilih mengabaikan Carlos, Trisha mengamati sekeliling. Ini ruangan yang nyaman. Apartemen studio dengan kasur tunggal. Dapurnya terlihat hangat dengan dominasi warna cokelat. Samar-samar tercium aroma bekas panggangan dan dia seketika merasa berada di rumah. Jelas dapur ini bukan sekedar pajangan belaka.
Lalu pandangannya mendapati kamar mandi kecil di samping pintu masuk. Melongok lebih dala lagi, Trisha mendapat hadiah pemandangan sore hari dari jendela-jendela tinggi kamar. Sinarnya nyaman sekaligus mengingatkan Trisha pada tubuhnya yang gerah dan lengket.
Langkahnya beralih menuju furnitur utama kamar. Hidungnya berkerut mencium bau anyir darah. Dia sudah gatal ingin ganti baju, tapi ranjang besar berpelapis cerah itu lebih menggoda hatinya. Trisha mengelus permukaan tempat tidur. Halus.
“Kamu tinggal di sini?” tanya Trisha sambil membaringkan diri di atas kasur. Aroma lavender menguar lembut. Menenangkan.
Gadis itu tak tahu apa jawaban Carlos karena rasa kantuk menyerang. Sedetik kemudian suara dengkur halusnya terdengar. Pertanda jelas dia sudah terbang ke pulau mimpi.
Tidur Trisha gelisah. Keringat dingin membanjir. Tubuhnya bergerak tak tenang di balik selimut. Hingga di satu titik dia terbangun sembari berteriak keras.
“TIDAK!”
Sesuatu yang dingin dan halus menyapa keningnya. Trisha terlonjak kaget. Refleks dia mencengkeram pergelangan tangan yang mendekat dan memuntirnya dalam satu gerakan kuat. Lalu terdengar suara rintih teredam.
“Aduh, lepaskan Trisha!”
“Siapa kamu?”
“Astaga, aku Carlos!”
Dahi Trisha berkerut, sedikit disorientasi. Saat kesadarannya pulih, dia melepas cengkeramannya. Matanya mengerjap berusaha menyesuaikan dengan keremangan ruangan.
“Kenapa kamu di sini?” tanyanya bingung.
Pria itu menjulurkan badan melewati tubuh mungil Trisha. Gadis itu dibanjiri aroma feromon Carlos. Dia mengikuti arah yang dituju dan sadar pria itu menjangkau lampu meja. Keremangan segera berganti dengan sinar hangat lampu.
“Aku membawamu ke sini. Kamu tak ingat?”
Trisha terdiam, berusaha menggali ingatan. Naasnya yang muncul pertama kali justru adegan baku tembak. Wajahnya memucat. “Kamu menyelamatkanku,” kata Trisha lirih.
“Kamu bisa berterimakasih padaku besok,” balas pria itu lucu.
Trisha melirik sebal. Decaknya keras mendengar selorohan Carlos. “Terima kasih,” ucapnya ketus.
“Wah, itu terima kasih tertulus yang pernah kudengar.”