“Aku mungkin selamat dari geng El Nino, tapi apa aku bisa selamat darimu?”
Trisha menyadari pria di hadapannya butuh waktu cukup lama untuk menjawab. Dan dia tak suka itu. Adanya jeda berarti keraguan.
“Kamu bisa pegang ucapanku, Trisha. Kamu aman bersamaku. Aku bukan orang yang sudi memboroskan nyawa sendiri demi melindungi orang lain. Musuh El Nino adalah kawan kami.”
~~oOo~~
Trisha berjingkat-jingkat menuruni tangga menuju resto. Harum makanan seketika menghantam hidung. Gadis itu berhenti sejenak di anak tangga ketiga dan menebak-nebak bau apa yang sudah mengusik indra penciumannya.
“Daging?” Telunjuknya menggaruk belakang telinga. Tangannya yang lain mengelus perut ratanya. “Sial, perutku lapar. Tolong, berdamailah dengan otakku wahai perut. Kamu akan mendapat makanan, tapi nanti.”
Trisha kembali melangkah. Begitu tiba di anak tangga terbawah, dia sontak berhenti lagi. Mulutnya tercengang.
“Astaga, apa ini?” Trisha terperangah.
Kemarin, saat menginjakkan kaki di bangunan ini, Trisha tak bisa melihat apapun. Kondisi jiwanya masih syok, menghalanginya mengamati keindahan yang tersaji. Sekarang, setelah matahari benar-benar bersinar dan kesadarannya mulai pulih, dia menyadari ke mana Carlos membawanya.
Jelas-jelas ini bukan restoran biasa. Alih-alih kecil, dia sedang berada di ruangan luas dengan puluhan kursi berjajar membentuk pola rapi. Pandangan gadis itu menyapu penjuru ruangan berdominasi warna cokelat dan merah. Kesan hangat muncul dari lampu-lampu artistik di tiang-tiang penyangga. Dia menelan ludah saat mendapati bar besar dan meja prasmanan berdekorasi elegan. Benarkah Carlos tinggal di tempat semewah ini?
Kepala Trisha masih sibuk tolah-toleh mengagumi keindahan restoran. Pengunjungnya cukup ramai. Mungkin selain menunya menggugah selera, lokasi resto juga menjadi kunci penting daya tarik. Ekor matanya melihat penampakan kapal-kapal berlabuh di dermaga. Sesekali telinganya menangkap deru mesin dan klakson kapal. Pasti bangunan ini tepat berada di parkiran kapal. Trisha menebak dalam hati.
Perjalanannya dari kamar di lantai dua berhenti lagi. Hati gadis mungil itu gamang. Dia dilanda keraguan begitu tiba di pintu masuk. Ini jam makan siang. Orang-orang di pedestrian sangat ramai. Trisha menunduk mengamati tubuhnya yang hanya berbalut kemeja Carlos.
“Kenapa berhenti?”
Trisha nyaris meloncat kaget. Dia balik badan secepat kilat dan menemukan sosok jangkung Carlos berdiri di belakangnya. Tangan pria itu membawa piring makanan. Apron putih terikat di pinggangnya.
“Astaga, Carlos, kamu membuatku kaget.” Trisha buru-buru menepi. Dia menempel di dinding dan bergerak rikuh, berusaha menutupi tungkai kakinya yang terekspos bebas.
“Kamu kenapa?” Carlos menyerahkan piring ke salah satu pelayan yang lewat dan melepas apron.
“Tak apa-apa. Aku balik dulu ke restoran.”
Carlos mencekal lengan Trisha. Gadis itu membeku. Rona merah muda menjalar cepat di pipi. Mata kecokelatan pria itu dengan cepat menemukan penyebab keanehan tindak-tanduk Trisha.
“Kamu tak pakai apa-apa?” Suaranya terdengar geli.
Trisha melotot galak. “Aku masih pakai kemejamu, Carlos!”
“Tubuhmu indah.”
“Carlos!” Trisha langsung menyilangkan tangan depan dada. Dia tahu sia-sia saja menyembunyikan diri. Angin yang kencang berhembus mempermainkan kemeja yang dipakainya. Dan pakaian itu putih, cukup memberi informasi pada pria tinggi ramping yang berdiri di sampingnya. “Jangan jelalatan!”
“Keindahan di depanku terlalu sayang untuk dilewatkan,” goda pria itu.
Trisha menggerutu kesal. Dia berbalik kembali ke arah semula datang, tapi Carlos kembali menahan.
“Kamu mau ke pantai? Ayo, kutemani.”
"Carlos! Aku malu,” tolak Trisha. Dari suaranya jelas terdengar nada separuh enggan separuh berminat. Debur ombak dan klakson kapal di kejauhan sangat menggoda hati.
"Mereka yang berjemur di pantai bahkan tidak berpakaian."
Trisha bersedekap. Dadanya tertarik ke depan membusung indah. Pemandangan indah yang sempat disantap Carlos sebelum pria itu memalingkan muka. Dia berdeham, tapi Trisha tak menyadarinya.
"Tidak. Aku tidak terbiasa tanpa pakaian dalam. Kenapa tidak kau saja yang membeli? Aku akan menggantinya."
"Aku?" Carlos tergelak, menunjuk diri sendiri. “Aku lebih suka seorang wanita tanpa pakaian dalam, Nona.”
“Dasar mesum!” sungut Trisha.
“Lebih suka lagi jika tanpa pakaian,” sambung Carlos lagi.
Trisha serasa ingin mencekik leher kekar itu. Namun, otak warasnya masih berfungsi. Dia tak mau dikejar polisi jilid dua karena jadi pelaku pembunuhan pria paling menyebalkan di Miami.
“Ayo, turun?”
Trisha menggeleng. Carlos memamerkan senyum tipisnya. Tanpa permisi, dia meletakkan lengan di belakang bahu dan lutut Trisha, lalu tanpa kesulitan membopong gadis itu keluar restoran.
"Carlos! Turunkan aku!" Trisha berseru kaget.
Pria itu tak menggubris. Gelaknya kembali terdengar. Trisha meronta-ronta, hanya saja tenaga Carlos lebih kuat. Dia bisa menahan pemberontakan meski gadis itu berada di gendongannya.
“Carlos, aku akan berteriak. Orang-orang akan datang dan menuduhmu hendak melecehkan aku. Lalu ....”
Tawa Carlos membahana. Begitu lepas tanpa beban. Seolah pria itu sudah ratusan kali menghadapi ancaman serupa. "Mudah untuk melucutimu di sini. Aku bisa bilang kamu pacarku dan kita sedang bertengkar sampai harus kucumbu di sini."
"Carlos!" Trisha menanamkan kuku-kuku jarinya ke kulit tengkuk pria itu.
Carlos mengaduh kesakitan. Spontan dia menurunkan gadis di gendongannya. Sepertinya pria itu belajar dari pengalaman karena gerak refleksnya mulai terlatih pada sikap agresif Trisha. Carlos gesit menahan pergelangan tangan gadis itu yang tengah mengayunkan tinju dengan sepenuh kekuatan.
"Aku bisa menangkap pukulanmu,” kekeh Carlos pada gadis di depannya.
"Tidak semudah itu,” ejek Trisha.
Satu tangannya yang bebas memukul siku Carlos. Pria itu tersentak merasakan kerasnya pukulan Trisha. Mata kecokelatan itu melebar menyadari apa yang akan diperbuat si gadis mungil. Kaki kanan Trisha dengan cepat menekuk belakang lutut Carlos dan menginjaknya. Dengan gerakan seorang ahli, gadis itu memuntir pergelangan tangan Carlos kuat-kuat dan menindih punggung kekar pria itu dengan tubuhnya sendiri.
"Trisha! Ini sakit!" Carlos berseru keras. “Tolong, lepaskan aku?”
“Kamu janji tak akan bicara omong kosong lagi?”
“Janji! Janji!” ucap Carlos cepat-cepat.
Trisha melepas kunciannya. Gadis itu berdiri, geli melihat Carlos yang berbaring di lahan parkir. Namun, senyumnya menghilang kala berserobok pandang dengan orang-orang yang terheran-heran melihat mereka.
"Kamu bilang tidak nyaman tanpa pakaian dalam. Kenapa berjalan sendirian?" tanya Carlos akhirnya bangkit. Sepertinya dia tak malu telah menjadi tontonan orang-orang.
“Aku bosan di kamar terus,” aku Trisha, “tapi aku tak kenal siapapun di sini. Jadi, yah, sendiri adalah hal terbaik. Ngomong-ngomong, apa kamu bisa menemaniku mengambil barang di hotel?”
“Kopermu sudah kubuang.”
Trisha tertegun. “Apa kamu baru saja bilang membuang?”
“Ya, kubuang. Baju-bajumu semuanya sudah kuambil dan kubuang. Ah, reservasi hotelmu juga sudah kubatalkan. Kamu bisa tinggal dengan nyaman di restoran mulai sekarang.”
Ujung-ujung bibir Trisha berkedut. Giginya mengertak. “Hei, atas dasar apa kamu membuang bajuku, hah?”
“Selera berbusanamu bocah sekali.” Carlos bergidik. “Kalau jalan denganku, orang pasti mengira aku sedang mengasuh anak.”
“Sejak kapan kamu jadi kritikus fashion?” sindir Trisha ketus.
“Baru saja. Ayo!”
“Ke mana?” Trisha reflek mengacungkan telapak tangan depan tubuh begitu terlihat gelagat Carlos mendekat. Matanya menyipit curiga. “Jangan dekat-dekat! Kamu mau dilumpuhkan lagi?”
“Duluan?” Jemari Carlos terhenti di udara, mengarahkan tujuan sampai Trisha mendahuluinya. “Tidak jauh. Atau kamu suka berpakaian seperti itu?”
Trisha melotot galak. Carlos jelas tak mengindahkan ancamannya. Akhirnya dia menurut. Mereka berjalan beriringan ke arah timur dan berbelok ke kanan memasuki Alton Road. Gadis itu sengaja berjalan tanpa suara. Pikirannya dipenuhi banyak hal.
Dia tak perlu dipusingkan dengan tempat tinggal. Ada Carlos yang siap menampung. Namun, persoalan Serena masih belum beres. Menilik kasus yang menjerat temannya, bisa jadi dia pun tak bisa bebas pulang ke Indonesia dalam waktu dekat.
Bapak pasti khawatir. Trisha mencubit-cubit bibir. Dari kemarin dia belum menelepon pria sepuh itu. Dia juga belum memperoleh kepastian pendampingan hukumnya dengan pihak kedutaan. Gadis itu menghembuskan napas panjang. Terlalu banyak yang harus diurus hanya karena ulah seorang Serena.
“Bisakah kamu mengantarku ke kedutaan?” pinta Trisha lirih. Otaknya sudah buntu. Kejadian dua hari ini nyaris menghancurkan pertahanan dirinya.
Trisha tersentak kaget merasakan tangan besar menggenggamnya. Jemari mereka bertautan. Refleks dia menunduk, melihat Carlos memegangnya erat.
Astaga Trisha, dia Cuma membantumu menyeberang jalan! Trisha menggoyang-goyangkan kepala, menghalau pikiran aneh yang sempat menggoda benak. Carlos mesum dan terlalu ramah. Dia pasti biasa memperlakukan wanita seperti ini. Trisha memperingatkan dirinya sendiri agar tak tenggelam dalam pesona pria itu.
“Kurasa kamu tak bisa meminta bantuan di sana. El Nino pasti sudah menyusup ke kedutaan.”
Carlos melepas pegangannya. Entah untuk alasan apa, Trisha merasa kehilangan. Tangan pria itu besar dan hangat, terasa sangat nyaman. Seolah semua masalah menghilang saat Carlos menyentuhnya. Pria itu memainkan koin di pagar tepi jalan. Dentingnya mengembalikan fokus Trisha.
Rasanya seperti mendengar plot dalam drama yang sering ditontonnya. Geng mafia menyusup ke kedutaan dan kepolisian? Apa itu tak terlalu berlebihan untuk hidupnya yang sederhana?
“Ponselku, kamu masih menyimpannya, kan?” Trisha masih bertaruh pada harapan. Dia berusaha tak melihat ke arah Carlos. Hatinya mulai kewalahan berhadapan dengan pria itu.
Carlos menggeleng. “Maafkan aku. Saat tiba di hotel, dompet dan telepon genggam milikmu sudah tak ada. Kurasa mereka mengambilnya.”
Tubuh Trisha lemas. Jadi begini rasanya terjebak di negeri orang? Gadis itu meraup muka. Seorang diri tanpa siapapun, tak ada uang, seluruh tanda pengenal hilang.
Carlos memberi isyarat agar mengikutinya. Berjalan lunglai, dia mengekor pria jangkung itu. Mereka berbelok ke 6th St. Bangunan megah bercat kelabu—dengan tulisan raksasa T.J. Maxx di salah satu panel dindingnya—langsung menyambut pasangan itu.
“Carlos?”
“Ya?”
“Boleh pinjam ponsel? Aku perlu menelepon ayahku.”
“Aku sudah meneleponnya.”